Minggu, 21 Maret 2010

Hukum Bunuh Diri Demi Rahasia

‘Abdu al-‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’
Alih Bahasa:
Ahmad Uzziy
Publikasi:
Maktab The Gunner’s

Orang-orang yang beragama dan berakal sehat mengetahui, bahwa tangan-tangan durjana ini tidak bisa ditolak kecuali dengan jalan jihad fi sabilillah, baik jihad fisik dengan kedua jenisnya yaitu jihad defensif dan ofensif, maupun jihad spiritual yang bentuknya bermacam-macam sesuai dengan beragamnya sarana mereka dalam merusak dan mentelantarkan kita dan agama kita.
Allah Ta’ala berfirman :
“ Mereka berperang di jalan Allah, maka mereka membunuh dan terbunuh…”
Hasilnya, ada yang menawan dan adapula yang tertawan, di kedua belah pihak. Membunuh atau dibunuh, melukai atau dilukai, menghancurkan atau dihancurkan. Yang saya rasakan sangat penting di sini adalah pihak muslim yang tertawan, si pembawa rahasia kaum mulsimin yang mengalami penyiksaan dan interogasi di luar batas kemanusiaan..sehingga ia tidak mampu bertahan kecuali bila ia membocorkan rahasia kaum muslimin kepada musuh-musuh durjana tersebut. Saat hal itu terjadi, musibah besar pun terjadi, kehormatan wilayah Islam dan umat Islam dinodai dengan cara-cara keji kekejaman tangan-tangan durjana tersebut yang sudah tergambar di benak.

Dari sini muncul sebuah masalah pelik yang sangat mendesak. Mendesak karena timbul dari realita pedih umat Islam, juga dari besarnya kehormatan darah seorang muslim. Namun juga pelik karena dalam mengkajinya harus memperhatikan ketentuan syariat, dan menjauhkan diri dari berbicara tanpa landasan ilmu. Karena itu, di awal pembahasan ini saya katakan ( Ini adalah sebuah kajian tentang sebuah masalah yang sangat mendesak). Di sini saya tidak memastikan sebuah pendapat tuntas yang tidak boleh ada perbedaan pendapat lagi setelah nampak dalil-dalil lain, nampak jelas penunjukkan dalil-dalil tersebut dan tahqiq manathnya. Kajian ini tidak lain hanyalah sebuah usaha untuk menelaah pendapat para ulama dalam masalah ini. Pembahasan ini hanyalah sebuah kajian dengan sebuah kesimpulan yang hati saya tentram karenanya, maka saya memilihnya. Saya tidak memaksakan kesimpulan ini untuk diterima oleh orang lain. Maka, apa yang benar dalam kajian ini semata-mata bersal dari Allah Ta’ala. Dan apabila ada kesalahan, maka itu smeua dari saya pribadi dan dari setan. Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam berlepas diri darinya. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan, dan kepada-Nya kita bersandar.
Adapun masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
Bolehkah seorang muslim melakukan tindakan bunuh diri ketika ia tertawan musuh dan ia takut akan membocorkan rahasia-rahasia kaum muslimin diakibatkan oleh ketidak mampuannya dalam menangung kejamnya interogasi musuh, sementara membocorkan rahasia kaum muslimin tersebut akan mengakibatkan kehancuran umat Islam ???.
Sebenarnya, masalah ini termasuk masalah baru dalam kancah perjuangan umat Islam, mungkin termasuk dalam kategori fiqhu nawazil (persoalan aktual, berkembang sebagai produk perkembangan zaman), karena saya belum menemukan pendapat membolehkan atau mengharamkan dari perkataan para ulama terdahulu. Meski demikian sudah ada banyak masalah fikih yang dibahas oleh para ulama terdahulu, yang dalam banyak hal menyerupai kasus masalah kita ini. Dengan demikian, dalam perkataan para ulama terdahulu sudah ada yang mengisyaratkan kepada masalah yang sedang kita hadapi ini meski hanya secara tersurat.
Hukum Orang yang Berpendapat dengan Sebuah Pendapat yang Belum Pernah Dikatakan Sebelumnya oleh Para Ulama terdahulu
Tidak adanya ulama terdahulu yang pernah mengeluarkan pendapatnya dalam masalah  yang kta hadapi ini, tidak menghalangi seseorang untuk membahas masalah ini dengan mengerahkan segenap kemampuannya, sampai sekalipun pendapat yang ia simpulkan tersebut belum pernah dinyatakan oleh seorang ulama terdahulu sekalipun.  Ini jika kesimpulan yang ia ambil tersebut dibangun di atas dalil syar’I dan proses pengambilan hukum yang baik.
Memang bersendirian dengan sebuah pendapat dalam sebuah masalah mengakibatkan kesepian, namun kebenaran dan kewajiban menampakkan kebenaran akan menghilangkan rasa kesepian ini. Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata dalam I’laamu al-Muwaqi’in di bawah judul [masalah : Kapan Orang yang Menuntut (Penuduh) disumpah ?] :
“ Janganlah engkau merasa kesepian dari orang yang dirinya sendiri dan seluruh ulama lain menyatakan bahwa dirinya bukanlah seorang ulama. Jika anda mendapati seorang ulama, yang mengikuti dalil, menguasai pengambilan hukum dari dalil, mengikuti kebenaran di mana saja, bagaimanapun kondisinya dan bersama siapa saja kebenaran itu, maka anda tidak akan merasa kesepian lagi, anda akan merasa mendapat kawan sekalipun ia tidak sependapat dengan anda. Sesungguhnya ia tidak sependapat dengan anda namun ia memahami anda.  Sebaliknya seorang yang bodoh dan dzalim akan menyelisihi anda tanpa landasan dalil dan bahkan berani mengkafirkan anda, atau menyatakan anda ahli bid’ah  tanpa sebuah hujah. Kesalahan anda hanya karena anda tidak mengikuti jalannya yang rusak dan akhlaknya yang tercela tersebut. Maka janganlah anda tertipu oleh orang-orang semacam ini. Karena ribuan orang seperti mereka lebih rendah nilainya dari seorang ulama, sebaliknya seorang ulama menyamai sepenuh bumi orang-orang seperti mereka.”
Dalam kesempatan ini, saya katakan bahwa para ulama salaf tidak harus membayangkan seluruh masalah yang mungkin akan timbul atau ditemui, baik pada masa mereka atau masa sesudah mereka, supaya mereka menetapkan hukum syar’I tentang masalah-masalah tersebut berdasar al-Qur’an dan al-sunah. Ketika syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendirian dalam pendapat beliau tentang gugurnya syarat harus suci saat thawaf bagi perempuan haidh yang ditahan oleh orang-orang (mahram) yang bersamanya, beliau mengatakan dalam Majmu’ Fatawa juz 26 halaman 239-241 :
(Pendapat yang saya sebutkan ini adalah sesuai dengan dasar-dasar (dalil-dalil syar’I) yang secara umum membahas bentuk kejadian seperti ini, baik secara lafal (tegas) dan makna, juga selaras dengan qiyas terhadap kejadian-jeadian semisal yang mirip atau bertentanagn dengannya. Dalam pendapat para ulama panutan memang tidak ditemukan pendapat mengenai kasus ini, maupun kasus bila seorang perempuan terpaksa harus thawaf dalam keadaan telanjang. Penyebabnya, kejadian yang di zaman mereka tidak dan belum terjadi, memang tidak harus mereka bayangkan agar mereka berbicara mengenai masalah itu.
Terjadinya kasus pertama dan kedua ini, memang belum pernah terjadi pada masa mereka atau sangat jarang terjadi. Pendapat mereka dalam bab seperti ini sangat umum, sehingga kesimpulan hukumnya juga umum kalau kasus-kasus khusus yang berbeda sifatnya ini tidak dihukumi secara khusus pula. Padahal kasus khusus ini   belum pernah dibayangkan oleh ulama yang berbicara dengan lafal yang umum tersebut, dikarenakan memang belum pernah terjadi pada masa mereka. Sementara orang-orang yang taklid kepada mereka hanya mengatakan apa yang mereka temui dari perkataan para ulama panutan tersebut).
Sampai kepada perkataan beliau :
( Inilah yang lebih tepat menurut saya dalam masalah ini. Wa laa haula wa laa quwwata illa billah al-‘aliyyi al-‘adzim. Seandainya bukan karena kebutuhan mendesak masyarakat terhadap ilmu dan amal dalam kasus ini, tentulah saya tidak perlu bersusah payah membahas masalah yang belum saya dapati pendapat para ulama terdahulu ini. Sesungguhnya berijtihad dalam kondisi darurat adalah sebuah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada kita. Jika pendapat yang saya simpulkan ini benar, maka itulah hukum Allah dan Rasul-Nya, walhamdu lillah. Jika pendapat saya tersebut salah, maka itu dari saya sendiri dan dari setan. Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya. Sekalipun orang yang salah berijtihad itu dimaafkan. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam. Walhamdu lillah. Wa shallallahu ‘ala muhammad wa aalihi wa sallama tasliman ).
Dari sini semakin jelas bagi kita, kebenaran tidak diukur dari banyaknya orang yang menempyuhnya :
“ dan tidaklah kebanyakan manusia itu beriman, sekalipun engkau sangat menginginkan hal itu).
Kebenaran adalah jangan engkau berpendapat tanpa landasan sebuah dalil shahih yang sharih, tidak ada syarat sebelumnya harus ada ulama lain yang memegangi pendapat yang engkau yakini tersebut. Jika ditemukan sebelumnya ada ulama terdahulu yang  udah berpendapat dengan pendapat tersebut, maka pendapat ulama terdahulu tersebut semakin menguatkan pendapat tersebut. Dengan demikian hati lebih tenang, dan jauh dari kesepian syudzudz (menyimang dari pendapat para ulama yang lebih tsiqah). Maka orang tersebut tidak perlu takut dengan kritikan pedas orang-orang yang mengkritik tanpa landasan kebenaran, sebagaimana telah disebutkan oleh imam Ibnu Qayyim didepan. Hendaknya orang yang mengikuti dalil dalam sebuah masalah sekalipun masalah itu belum pernah disebutkan oleh para ulama terdahulu..hendaknya ia mengetahui bahwa ia tidak termasuk menyelisihi al-jama’ah, karena al-jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran sekalipun seorang diri.


al-jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran sekalipun seorang diri.

Hal 57

Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh imam Ibnu al-Qayyim dalam I’lamu al-Muwaqqi’in ketika mengomentari seorang laki-laki yang mengaku bahwa ialah orang yang memperkosa, setelah ia melihat orang lain akan dihukum had karena dituduh sebagai pemerkosa. Beliau mengatakan,” Adapun gugurnya hukuman hudud atas orang yang mengakui perbuatannya, jika tidak berada dalam kemampuan (bukan menjadi hak) amiru al-mukminin Umar bin Khathab, maka tentunya lebih tidak berada dalam kemampuan para fukaha’. Namun pasti menjadi kemampuan al-Rauf al-Rahim. Sesungguhnya orang ini telah bertaubat kepada Allah, maka Allah Ta’ala enggan untuk menghukumnya dengan hudud. Tidak diragukan lagi, kebaikan dari pengakuan si pemerkosa secara sukarela, atas pilihan sendiri, didorong oleh rasa takut kepada Allah semata, demi menyelamatkan nyawa seorang muslim (si tertuduh) dan mengutamakan kehidupan saudara seislam daripada kehidupannya sendiri, sehingga ia menyerah untuk dihukum qishash, (kebaikan) semua ini jelas lebih besar dari kesalahan yang ia lakukan.”
Yang menjadi bukti atas pendapat kita adalah perkataan beliau “demi menyelamatkan nyawa seorang muslim (si tertuduh) dan mengutamakan kehidupan saudara seislam daripada kehidupannya sendiri, sehingga ia menyerah untuk dihukum qishash, (kebaikan) semua ini jelas lebih besar dari kesalahan yang ia lakukan
Asal kisah ini disebutkan dalam sunan al-Nasa’i. Imam Ibnu al-Qayyim dalam I’lamu al-Muwaqqi’in mengatakan,” Kami telah meriwayatkan dalam sunan al-Nasa’I dari hadits al-Samak dari ‘Alqamah bin Wail dari bapaknya ia mengatakan ; Seorang wanita yang sedang pergi ke masjid pada gelapnya pagi (sebelum shubuh) diperkosa secara paksa. Wanita itu berteriak meminta tolong kepada seorang laki-laki yang kebetulan lewat, maka si pemerkosa melarikan diri. Banyak orang kemudian datang ke tempat itu, dan perempuan itu berteriak meminta tolong kepada mereka. Mereka berhasil menangkap laki-laki pertama yang dimintai tolong oleh wanita itu, sementara si pemerkosa sebenarnya berhasil kabur. Mereka membawa laki-laki yang malang itu ke hadapan wanita itu, maka laki-laki malang itu membantah,” Saya yang menolong anda, si pemerkosa telah kabur.” Mereka membawa laki-laki malang itu ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, dan wanita itu memberitahukan kepada Nabi bahwa benar laki-laki itulah yang telah memperkosanya, dan orang-orang tersebutlah yang berhasil menangkapnya. Laki-laki malang itu membantah,” Tidak, sayalah yang telah menolongnya, tapi mereka mendapati saya maka mereka menangkap saya.” Wanita itu menjawab,” Bohong. Dia yang telah memperkosa saya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada masyarakat,” Kalau begitu, bawa laki-laki ini dan rajamlah ia !” Tiba-tiba seorang laki-laki menyela,” Jangan kalian rajam ia, tapi rajamlah saya. Sayalah yang telah melakukan perbuatan itu.” Laki-laki itu mengakui perbuatannya. Maka tiga orang berkumpul di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, yaitu laki-laki yang memperkosa, laki-laki malang yang menolong, dan wanita korban pemerkosaan. Kepada laki-laki yang memperkosa, beliau bersabda,” Engkau, telah diampuni.” Kepada orang yang menolong, beliau memuji tindakannya. Maka Umar berkata,” Saya akan merajam yang mengaku telah memperkosa.” Maka Rasulullah menolak dan bersabda,” Ia telah bertaubat kepada Allah Ta’ala.”
Kedua Belas : Sudah sama diketahui bahwa jumhur ulama[1] telah bersepakat atas kebolehan, bahkan, wajibnya memerangi musuh jika tindakan tidak memerangi musuh membawa bahaya atas umat Islam. Ya, sekalipun tindakan memerangi musuh itu akan menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin yang dijadikan tameng oleh musuh. Kita berpendapat, sudah sama diketahui pula bahwa dosa seorang muslim yang membunuh saudara muslim lainnya adalah lebih besar dari seorang muslim membunuh dirinya sendiri. Sebagaimana telah disebutkan oleh Syaikhul Islam IbnuTaimiyah dalam Majmu’ al-fatawa, imam Ibnu Hajar dalam Fathu al-Baari dan para ulama lainnya. Alasannya, membunuh saudara muslim itu mengandung dua hak, yaitu hak Allah dan hak muslim, sementara bunuh diri hanya mengandung satu hak yaitu hak Allah ta’ala. Jika sebagian umat Islam (mujahidin) membunuh umat Islam lain yang dijadikan tameng oleh musuh, dengan tujuan meraih maslahat dien dan menegakkan kalimat Allah Ta’ala hukumnya diperbolehkan, maka mestinya lebih diperbolehkan lahi seorang muslim membunuh dirinya sendiri demi menegakkan kalimat Allah dan menjaga agar umat Islam lainnya tidak dibunuh, dinodai kehormatan dan dikuasai wilayahnya. Karena kita tidak mungkin mengatakan maslahat tetap hidupnya seorang muslim didahulukan atas maslahat tetap hidupnya ratusan umat Islam. Kita juga tidak mungkin mengatakan menolak bahaya matinya seorang muslim, dengan mengorbankan nyawa ratusam muslim lainnya. Islam tidak mengajarkan demikian itu, bahkan Islam datang dengan kaedah-kaedah umum yang memerintahkan kepada kita untuk mengutamakan menolak bahaya daripada meraih keuntungan (dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih). Apabila muncul dua bahaya, maka bahaya yang lebih besar dijauhi dan bahaya yang lebih kecil dihadapi (irtikabu akhaffu al-dhararain). Kaedah ini terwujud dalam kasus mengutamakan tetap hidupnya ratusan umat Islam dengan bunuh dirinya seorang muslim yang tertawan.

وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَى

“ dan aku bersegera kepada-Mu, ya Rabbi, supaya Engkau ridha kepadaku.” [QS. Thaaha :84].
Meninggalkan maslahat tetap hidupnya seorang muslim yang tertawan harus didahulukan atas timbulnya bahaya terbunuhnya ratusan umat Islam dan terampasnya wilayah mereka, sebagaimana secara tersirat diungkapkan oleh fadzilatu al-syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah.[2]
Ketiga Belas : Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah telah ditanya tentang kasus yang dialami para mujahidin Aljazair yang ditawan oleh tentara penjajah Perancis. Mereka diinterogasi dan mengalami penyiksaan biadab sampai mereka mau mengaku dan menunjukkan rahasia dan tempat-tempat persembunyian umat Islam. Bolehkan mereka melakukan tindakan bunuh diri agar mereka tidak membocorkan rahasia perjuangan umat Islam ?
Beliau rahimahullah menjawab :
“ Tentara Perancis sedang bertempur dengan sengit dalam beberapa tahun ini. Mereka menggunakan injeksi jika menawan seorang pejuang Aljazair, agar ia mau memberitahukan kondisi amunisi dan logistik mujahidin Aljazair. Terkadang yang tertawan adalah para pimpinan mujahidin, dan akibat beratnta tekanan interogator, mereka memberitahukan bahwa di tempat ini dan itu ada si fulan dan si fulan. Suntikan ini menyebabkan mereka setengah tidak sadar, dan pembicaraannya bercampur baur, alat ini memilah pembicaraannya yang benar dan sejujurnya.
Orang-orang muslim Aljazair datang kepada kami dan menanyakan bolehkah seorang (muslim yang tertawan) melakukan tindakan bunuh diri karena takut diinterogasi dengan alat tersebut. Ia mengatakan saya mati dan saya syahid —-mereka menyiksanya dengan berbagai macam siksaan biadab—. Maka kami (syaikh) katakan kepada mereka ; kalau kondisinya memang demikian itu, maka boleh, dan dalilnya (Kami beriman kepada Rabbnya Ghulam (anak muda)…juga perkataan para ulama : sesungguhnya perahu….” Namun dalam kasus ini masih ada sikap tawaquf (tidak mengiyakan atau menolak) dalam hal mana yang lebih besar bahayanya : bunuh diri atau menyebarkan rahasia umat Islam. Untuk menentukannya, dipakai kaedah kebiasaan yang sudah umum di tempat terjadinya kasus ini (al-‘adatu muhakkamatun). Yang pasti (baik membocorkan rahasia atau tidak), tawanan tersebut pasti akan dibunuh juga.”(persetujuan).[3]
[Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim 6/207-208, cetakan 1, 1399 H, al-Mathabi’ al-Hukumiyah, Kitabu al-Jihad].
Dalam pandangan saya yang terbatas ini, fatwa syaikh Muhammad bin Ibrahim ini telah mematahkan orang-orang yang bertanya dan membantah,” Siapa ulama sebelummu yang telah berpendapat seperti pendapatmu ini (bolehnya bunuh diri demi menjaga rahasia) ? Karena itu, setelah beberapa waktu terakhir ini saya mendapatkan fatwa beliau ini, saya rasa tidak berlebihan apabila saya mengatakan : terkadang bunuh diri bagi seorang tawanan yang kondisinya seperti itu, hukumnya wajib, demi menjaga darah dan kehormatan umat Islam. Saya tidak akan mengatakan demikian[4] kalau saya tidak melihat fatwa syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah ini, supaya saya tidak terjatuh dalam syudzudz (kesendirian dalam berpendapat, sehingga menyelisihi pendapat para ulama lain yang lebih tsiqah). Namun kini, al-hamdu lillah, syudzudz telah hilang, terlebih lagi dalil-dalil yang telah saya sampaikan di depan minimal disimpulkan bahwa hukum kasus ini adalah boleh. Maka fatwa syaikh Muhammad bin Ibrahim ini sungguh telah menggunting kritikan para pengkritik.
Keempat belas : Fatwa syaikh hasan Ayyub dalam buku beliau Al-Jihad wa al-Fidaiyah fi al-Islam halaman 247-248 yang memperbolehkan kasus seperti ini. Beliau menulis,” Bunuh diri jika dilakukan berdasar alasan yang kokoh dan kuat yang berkaitan dengan sebuah urusan yang menyangkut dan membawa manfaat bagi umat Islam, dan bila tidak dilakukan tindakan bunuh diri justru akan menimbulkan bahaya bagi umat Islam, maka jelas bunuh diri dalam kondisi seperti ini hukumnya boleh. Seperti bila seseorang disiksa agar mau membocorkan rahasia yang berkaitan dengan posisi para pejuang umat Islam, nama-nama mereka, atau memberitahukan langkah-langkah pejuang Islam, atau tempat-tempat amunisi, persenjataan, dan informasi-informasi penting lain yang membahayakan pasukan Islam, personal pasukan Islam, keluarga dan masyarakat Islam. Jika menurut perhitungannya ia tidak akan mampu bertahan atas beratnya penyiksaan, dan ia terpaksa membocorkan rahasia-rahasia tersebut, atau ia mengetahui musuh akan memasukkan ke tubuhnya zat-zat tertentu yang mempengaruhi urat syaraf sehingga mengakibatkan secara otomatis ia membocorkan rahasia dalam keadaan setengah tidak sadar, tanpa menyadari apa yang ia ucapkan, (maka boleh ia melakukan tindakan bunuh diri). Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ulama tentang seseorang yang menyerbu barisan musuh sendirian, padahal ia mengetahu ia pasti akan terbunuh, namun menurut perhitungannya bila ia terbunuh akan membawa kebaikan bagi Islam dan kaum muslimin. Kondisi kita ini lebih penting dan lebih berbahaya (dari kasus menyerang musuh sendirian).”
Kelima Belas : Seluruh fatwa berdasar dalil-dalil syar’i yang disebutkan oleh para ulama mutaakhirin seperti syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullah, syaikh al-Albani rahimahullah, syaikh Hamud bin ‘Uqla al-Syu’aibi waffaqahullahu wa matta’ana bihi rahimahullah dan syaikh Sulaiman bin Nashir al-‘Ulwan hafidzahullah. Juga fatwa para ulama Yordania, para ulama al-Azhar, para ulama Mesir, dan para ulama negeri-negeri Muslim lainnya yang memperbolehkan meledakkan dirinya sendiri demi menimbulkan kerugian besar di pihak musuh (al-‘amaliyat al-istisyhadiyah). Fatwa-fatwa ini, sejatinya adalah fatwa yang dengannya saya berpendapat seseorang boleh melakukan tindakan bunuh diri jika ia takut akan membocorkan rahasia umat Islam selama menjalani beratnya penyiksaan, karena menimbulkan kerugian di pihak musuh dalam kasus inipun bisa terealisasi, demikian juga dalam tujuan menegakkan dien dan menolong kaum muslimin. Antara kedua kasus ini tidak ada bedanya. Bahkan dalil-dalil para ulama terdahulu tentang bolehnya seseorang sendirian menyerbu barisan musuh demi menimbulkan kerugian di pihak musuh, sekalipun menurut perhitungannya ia akan terbunuh, juga merupakan dalil-dalil atas kasus kita ini, antara kedua kasus ini tidak ada perbedaan, selain kasus pertama ia terbunuh lewat tangan musuh, sementara kasus kita terbunuh lewat tangan sendiri. Namun perbedaan ini tidak mempunyai pengaruh, karena orang yang membantu atau menjadi sebab atas terbunuhnya dirinya sendiri, hukumnya seperti orang yang langsung membunuh dirinya sendiri. Masalah ini sudah disepakati oleh para ulama.
Keenam Belas : Ulama yang memfatwakan bolehnya dan bahkan keutamaan al-‘amaliyat al-istisyhadiyah, terkena konskuensi wajib memperbolehkan dan bahkan menyatakan keutamaan bunuh diri demi menyelamatkan umat Islam, karena ia takut membocorkan rahasia mereka. Alasannya jelas, menjaga nyawa umat Islam jauh lebih penting dari membunuh beberapa orang kafir dalam al-‘amaliyat al-istisyhadiyah, yang terkadang tidak membunuh seorang kafirpun dan hanya mengakibatkan kerusakan pada sebagian bangunan dan menimbulkan ketakutan di pihak musuh. Karena itu disebutkan dalam Badai’u al-Shanai’,” Menebus tawanan (muslim) dengan tawanan (kafir) menurut imam Abu Hanifah rahimahullah tidak diperbolehkan, namun menurut imam  Abu Yusuf dan Muhammad diperbolehkan. Alasannya, menebus tawanan berarti menyelamatkan seorang muslim, dan itu lebih penting dari sekedar membunuh seorang kafir.”
Yang menjadi penguat adalah perkataan para ulama yang telah disepakati (berarti menyelamatkan seorang muslim, dan itu lebih penting dari sekedar membunuh seorang kafir). Ini disepakati oleh orang-orang Islam yang berakal sehat dan berhati nurani bersih. Jika ada yang membantah, orang yang memfatwakan kebolehan ajaran al-‘amaliyat al-istisyhadiyah tidak mesti menyatakan kebolehan bunuh diri demi menjaga rahasia, maka kami katakan kepadanya,” Terangkan kepada kami perbedaan antara kedua kasus ini !” Karena membedakan dua hal yang serupa tanpa adanya sebuah dalil merupakan sebuah “masalah” yang paling sulit.
Ketujuh Belas : Para ulama menegaskan bahwa seseorang yang pasti akan mati dengan salah satu dari dua cara yang sama-sama buruknya, ia boleh memilih salah satu dari keduanya. Seperti seseorang yang berada di atas kapal yang terbakar, sementara ia tidak pandai berenang, atau di laut banyak ikan buas. Ia boleh memilih antara mati terbakar atau mati tenggelam. Jika menurut perhitungannya salah satu cara lebih ringan dari cara yang lain, maka ia harus memilih cara yang lebih ringan, demikian ditegaskan oleh para ulama dalam al-Bahru al-Raiq, Badai’u al-Shanai’ dan buku-buku fikih lainnya. Dalam al-Bahru al-Raiq disebutkan,” Jika kaum muslimin berada di atas kapal yang terbakar, jika menurut perhitungan kuat mereka bisa selamat bila menceburkan diri ke laut dan berenang ke pantai, maka mereka harus menceburkan diri ke laut agar terlepas dari kebinasaan yang sudah pasti. Namun apabila kedua kondisi sama saja hasilnya, jika mereka bertahan di kapal akan mati terbakar, dan jika mereka menceburkan diri ke laut akan tenggelam, maka menurut imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf mereka boleh memlih karena kedua kondisi tersebut sama hasilnya, sedang menurut imam Muhammad bin al-Hasan tidak boleh menceburkan diri ke laut karena kematian mereka berarti disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri.”
Kondisi ini merupakan masalah kita dalam kebanyakan keadaan, di mana seorang tawanan perang yang membawa rahasia pasti akan terbunuh, baik ia membocorkan rahasia maupun tidak, jarang sekali yang tidak dibunuh. Dalam kondisi ini, menurut para fuqaha’ ia boleh memilih salah satu sebab dari dua sebab kematiannya. Lantas, bagaimana pendapat anda bila ia memilih salah satu cara yang membawa masalahat bagi Islam dan kaum muslimin ???
Kedelapan belas : Di antara dalil yang memperbolehkan dan bahkan menyatakan keutamaan kasus kita ini, bahwa pelakunya berhak menyandang gelar al-syahid dengan masyiah Allah, adalah kenyataan bahwa tidak ada pengaruhnya bagaimana cara ia terbunuh dan lewat tangan siapa ia terbunuh. Karena itu, kita tidak bisa mengatakan orang yang bunuh diri demi mengamankan rahasia tidak termasuk orang yang mati syahid, hanya karena ialah yang secara langsung membunuh dirinya sendiri atau ia terbunuh tidak di kancah peperangan. Karena itu, setelah ini saya akan menyebutkan pembahasan orang yang mati syahid dan definsinya, sehingga saya bisa menjelaskan bahwa orang yang membunuh dirinya sendiri dalam kondisi seperti ini termasuk orang yang mati syahid. Setelah itu saya akan menjelaskan bahwa siapa tangan yang membunuh, tidak membawa pengaruh hukum dalam masalah mati syahid fi sabilillah karena syariat tidak membatasi orang yang mati syahid hanyalah orang yang mati dalam kancah  peperangan lewat tangan musuh semata, kalau tidak maka ia tidak mati syahid.


Orang yang Mati Syahid dan Definsinya

Definisi al-syahid (orang yang mati syahid) secara bahasa :
Dalam Lisanu al-‘Arab karangan imam Ibnu Mandhur disebutkan,” Al-syahid adalah orang yang terbunuh di jalan Allah, pluralnya adalah syuhda’…isimnya adalah al-syahadah. Al-syahid adalah al-hayyu (yang tetap hidup). Dari Nadhr bin Syamil tentang tafsir al-syahid, adalah yang mati syahid, al-hayyu, maksudnya yang tetap hidup di sisi Rabbnya. “ beliau lalu menyebutkan kenapa al-syahid disebut dengan istilah ini. Apa yang disebutkan oleh imam Ibnu Hajar dan al-Nawawi sudah mencukupi dari apa yang disebutkan oleh imam Ibnu Mandhur ini.
Pengarang Taaju al-‘Arus mengatakan,” Al-Syahid –imam al-Laits mengatakan,” Lafal ini merupakan kosakata dengan bahasa Bani Tamim…al-syahid adalah al-hadhir (orang yang hadir), dengan wazan fa’iil, sebuah bentuk mubalaghah dari faa’il. …al-syahid menurut syariat adalah orang yang terbunuh fi sabilillah.”
Dalam al-qamus al-fiqhi,” al-syahid adalah orang yang bersaksi, juga bermakna menyaksikan dan orang yang terbunuh di jalan Allah. Pluralnya adalah al-syuhada’ dan asyhad. Dikatakan al-syahid, maka maknanya adalah al-hadhir (orang yang hadir), pluralnya adalah syuhud dan asyhad, juga bermakna orang yang memberikan persaksiaan.
Definisi al-syahid (orang yang mati syahid) secara syariat :
  • Menurut para ulama madzhab al-Hanafi :
-          Pengarang Hasyiyah Ibnu ‘Abidin mengatakan : Yaitu orang yang dbunuh oleh orang-orang musyrik, atau ditemukan terbunuh dalam kancah pertempuran sementara dalam dirinya ada luka yang nampak maupun tidak seperti keluarnya darah dari mata dan lainnya.
-          Dalam kitab Tabyinu al-Haqaiq karangan imam al-Zaila’i, mereka mengatakan : Setiap orang yang terbunuh dalam perang melawan ahlu harbi (orang-orang kafir), atau bughat (pemberontak muslim), atau qutha’u al-thariq (perampok muslim) dalam artian ia terbunuh oleh tindakan mereka (musuh) maka ia seorang al-syahid, baik tindakan langsung mereka atau tindakan tidak langsung (menjadi sebab/lantaran). Adapun setiap orang yang terbunuh tidak tindakan musuh, maka ia tidak bisa disebut al-syahid.
-          Dalam kitab al-Bahru al-Raiq, mereka mengatakan : Seseorang yang mengejar musuh dan menebaskan pedangnya namun meleset dan mengenai dirinya sendiri sampai ia mati, maka ia dimandikan, karena ia tidak mati karena tindakan musuh, namun ia dianggap al-syahid dalam hal mendapat pahala di akhirat karena ia bermaksud membunuh musuh, bukan membunuh dirinya sendiri. Mati syahid disebutkan secara umum, mencakup terbunuh secara langsung maupun tidak langsung (menjadi sebab), selama ia mati karena tindakan musuh. Karena itu, apabila kendaraan musuh menginjak seorang muslim, atau kendaraan seorang muslim melemparkan dirinya dari atas pelana, atau musuh melemparinya dari atas benteng, atau musuh menimpakan runtuhan tembok kepadanya, atau musuh memanah api kapal umat Islam sehingga terbakar, atau sebab-sebab yang semisal, maka ia dianggap mati syahid. Jika seekor kendaraan (kuda, onta) orang musyrik lepas dan tidak dikendarai oleh seorangpun sehingga menginjak seorang muslim, atau seorang muslim menembak orang kafir namun malah mengenai seorang muslim, atau orang-orang Islam melarikan diri dari barisan orang-orang kafir lalu orang-orang kafir menggiring mereka ke parit, api atau bahaya lain atau memenuhi jalan dengan duri yang dilalui oleh seorang muslim sehingga mengakibatkan kematian si muslim, maka ia tidak dianggap mati syahid. Hanya imam Abu Yusuf (dari kalangan ulama Hanafiyah) yang menyatakan hal itu mati syahid. (Kami berpendapat) ia (orang yang menebas musuh namun mengenai dirinya sendiri hingga mati) tidak mati syahid karena ia mati karena tindakannya sendiri, bukan karena tindakan musuh. Demikian juga dengan kendaraan yang tidak dinaiki penunggang. Adapun peletakkan duri di jalan, tidak dianggap sebagai sebab tidak langsung kematian, karena apa yang ditujukan untuk membunuh dianggap sebagai sebab tidak langsung pembunuhan, sementara yang tidak ditujukan untuk membunuh tidak dianggap sebagai sebab tidak langsung pembunuhan. Jelas, orang-orang kafir menaruh duri dengan tujuan menghalangi gerakan pelarian si muslim, bukan untuk membunuhnya.
  • Menurut para ulama madzhab al-Maliki. Imam al-dardiri dalam al-Syarhu al-Kabir mengatakan,” Al-syahid hanyalah orang yang terbunuh dalam perang melawan orang-orang kafir harbi, sekalipun ia terbunuh di negeri Islam dikarenakan orang-orang kafir harbi menyerbu umat Islam, atau ia tidak ikut berperang karena sedang lengah, tertidur atau dibunuh oleh muslim yang lain karena dikira orang kafir, atau ia terlempar dari kendaraannya, pedang atau panahnya mengenai dirinya sendiri, atau jatuh ke dalam sumur atau jatuh ke dalam jurang.
  • Menurut para ulama madzhab al-Syafi’i. Imam Ibnu Hajar mengatakan al-syahid adalah orang yang terbunuh dalam perang melawan orang-orang kafir, dalam keadaan ia maju menyerbu, tidak melarikan diri dan ikhlas. Dalam Mughni al-Muhtaj juga dikatakan, al-syahid adalah orang yang terbunuh dalam perang melawan orang-orang kafir dalam keadaan maju, tidak melarikan diri, demi menegakkan kalimat Allah Ta’ala, bukan karena tujuan duniawi.
  • Menurut para ulama madzhab al-Hambali. Pengarang Kasyafu al-Qanna’ mengatakan, al-syahid adalah orang yang mati dikarenakan perang melawan orang-orang kafir, pada waktu terjadinya perang tersebut. Imam Ibnu Qudamah mengatakan dalam al-Mughni :Jika al-syahid menebaskan senjatanya namun berbalik mengenai dirinya sendiri, maka ia seperti orang yang terbunuh oleh tangan musuh. Al-qadhi mengatakan ; ia dimandikan dan dishalatkan karena ia mati tidak karena tangan orang-orang musyrik, seperti kalau ia mati tidak di medan perang. Namun pendapat kami (ia tetap mati syahid meski tidak lewat tangan orang musyrik) berdasar kepada hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud dari seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, ia berkata ; Kami menyerang secara tiba-tiba sebuah kampung bani Juhainah, maka seorang muslim memburu seorang musyrik. Ia menebaskan pedangnya, namun meleset dan mengenai dirinya sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,” Tolong saudara kalian, wahai umat Islam !.” Para shahabat segera berhambur untuk menolong, namun ternyata ia sudah mati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengkafaninya dengan pakaiannya yang berlumuran darah, lalu mensholatinya. Para shahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah ia mati syahid ?”  Beliau menjawab,’ Ya, dan saya menjadi saksi.” Shahabat ‘Amir bin al-akwa’ juga berduel dengan Marhab (panglima Yahudi) dalam perang Khaibar,  ‘Amir menebaskan pedangnya namun berbalik mengenai dirinya sendiri, sehingga ia meningga. Ia tidak dibedakan dari para syuhada’ lainnya, karena ia mati syahid dalam peperangan, sebagaimana bila ia mati lewat tangan orang kafir.

Tangan yang Membunuh Tidak Berpengaruh atas

Penamaan al-Syahid
Dari penjelasan tentang definisi al-syahid ini, jelaslah bahwa menurut jumhur (mayoritas) ulama selain ulama madzhab al-Hanafi, tangan siapa yang membunuh tidak mempunyai pengaruh atas diraihnya sifat mati syahid. Hanya ulama madzhab al-Hanafi semata yang menyatakan orang yang mati syahid hanyalah orang yang mati oleh tangan orang kafir atau didapatkan terbunuh di medan peperangan, sementara yang mati karena tangannya sendiri tidak dianggap mati syahid.
Pendapat mayoritas ulama adalah pendapat yang rajih (lebih kuat dan benar), sementara pendapat ulama madzhab al-Hanafi dibantah oleh hadits yang disebutkan dalam al-shahihain dari Salamah bin al-Akwa’ rhadiyallahu ‘anhu, ia berkata,” Kami keluar (berangkat berperang) bersama Rasulullah ke Khaibar…(beliau lalu menyebutkan haditsnya di mana disebutkan shahabat ‘Amir bin al-Akwa’ mendendangkan syair untuk menyemangati para shahabat dalam perjalanan)…Rasulullah bersabda,” Siapa yang  memimpin (sya’ir itu) ?” Para shahabat menjawab,” ‘Amir bin al-Akwa’.” Rasulullah bersabda,” Semoga Allah memberinya rahmat.” Maka seorang shahabat berkata,” Jika anda telah mendoakan seperti itu kepada kami, pasti akan terlaksana ya Nabiyallah.” Ketika dua pasukan bertemu, pedang ‘Amir yang pendek diayunkannya untuk menebas betis seorang Yahudi, namun malah berbalik kepada tempurung lutut ‘Amir sendiri, sehingga ia meninggal. Ketika sudah diamankan, Salamah —saudara kandung ‘Amir (pen)— berkata,” Rasulullah memandang saya, memegang tangan saya dan bertanya,” Ada apa kok sedih ?” Saya menjawab,” Mereka mengatakan amal ‘Amir telah terhapus.” Beliau bertanya,” Siapa yang  berkata begitu ?” Saya menjawab,” Fulan, fulan, fulan dan Usaid bin Khudhair al-Anshari.” Rasulullah bersabda,” Orang yang berkata begitu telah berbohong. Justru ‘Amir mendapatkan dua pahala.” Beliau menunjukkan dengan kedua jari beliau.”
Imam Abu Daud dalam sunan Abu Daud (no. 2539) dari Abu Salam dari seorang shahabat  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, ia berkata,” Kami mengadakan serangan mendadak kepada sebuah kampung bani Juhainah, maka seorang muslim memburu seorang musyrik, namun senjatanya meleset dan mengenai dirinya sendiri. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,” Saudara kalian, wahai kaum muslimin.” Kaum muslimin segera menolongnya, namun ternyata ia sudah meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengkafaninya dengan pakaian yang berlumuran darah, beliau mensholati dan menguburkannya. Mereka bertanya,”Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, apakah ia mati syahid?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab,” Ya, dan saya menjadi saksi.”
Dari penjelasan ini, jelaslah bahwa tidak disyaratkan seorang mujahid harus mati oleh senjata musuh agar ia bisa disebut mati syahid. Al-syahid adalah orang yang berperang untuk menegakkan kalimat Allah, dan ia terbunuh di medan perang dengan cara apapun (baik karena senjata sendiri maupun senjata musuh).
Syubhat orang-orang yang tidak memperbolehkan al-‘amaliyat al-istisyhadiyah adalah dalam persoalan ini, yaitu alasan bahwa si mujahid membunuh dirinya sendiri. Alasan ini tidak ada dasarnya. Jika ia tidak memperbolehkan al-‘amaliyat al-istisyhadiyah karena syubhat ini, hendaklah ia mengetahui bahwa syubhat ini (tangan yang membunuh bukan tangan orang kafir) tidak mempengaruhi si syahid untuk mendapatkan sifat al-syahadah (mati syahid).
Karena syariat terkadang membedakan hukum antara dua hal yang secara lahiriah nampanya sama, namun berbeda niat dan tujuan, sebagaimana telah saya sebutkan tadi. Tidak ada contoh yang lebih menunjukkan hal ini, melebihi kasus mengharapkan kematian. Hukum mengharapkan kematian bisa berbeda berdasar perbedaan niat orang yang mengharapkan kematian tersebut. Contoh lainnya adalah orang yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga, hukumnya haram jika ia bertujuan untuk menjadi sarana bagi halalnya perempuan itu atas mantan suaminya. Namun hukumnya bisa menjadi sunah dan disyariatkan, jika tujuannya untuk menjaga kehormatan dirinya dari terjatuh dalam perbuatan keji (zina), dengan demikian pernikahannya menjadi pernikahan yang syar’i. Contoh lainnya adalah tidak berobat saat sakit. Jika ia tidak berobat karena didorong oleh rasa tawakal kepada Allah Ta’ala, maka itu terpuji dan dianjurkan. Sebaliknya, bila karena menyepelekan, maka diharamkan dan tercela. Banyak contoh masalah lain yang dikarenakan perbedaan niat, hukumnya pun berbeda. Dasar hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dalam al-shahihaini :
“ Seluruh amal tergantung kepada niat, dan setiap orang akan mendapatkan pahala sesuai apa yang ia niatkan.”
Niat menjadi sebab perbedaan hukum. Perbedaan hukum antara dua masalah yang serupa hanya dikarenakan berbedanya niat, banyak didapati dalam syariat Islam. Satu dari antara sekian banyak masalah tersebut adalah masalah orang yang terbunuh di medan peperangan. Siapa yang mati karena ingin menegakkan kalimat Allah adalah orang yang mati syahid, sementara yang mati karena ingin disebut sebagai seorang pemberani, maka ia berada di jalan setan. Hal ini jelas sekali disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Dari sini jelaslah bagi kita bahwa hukum syariat tentang orang yang mati syahid tidak berubah dan tidak ddipengaruhi oleh tangan siapa yang membunuh si mujahid, alat untuk membunuh maupun cara membunuh, selama niatnya untuk mencari ridha Allah Ta’ala dengan niat ikhlas untuk menegakkan kalimat Allah Ta’ala. Seseorang yang dibunuh oleh musuh sedang niatnya buruk (tidak ikhlas), maka ia di neraka. Seseorang yang dibunuh oleh musuh sedang niatnya ikhlas untuk menegakkan kalimat Allah, maka ia di surga. Seseorang melakukan bunuh diri karena putus asa dan stres, maka ia di neraka. Seseorang melakukan bunuh diri karena tidak sengaja (seperti kasus shahabat ‘Amir bin al-Akwa—pen), maka ia di surga. Seseorang mengharapkan kematian atau berdoa agar segera dimatikan karena tidak sabar dengan musibah duniawi yang menimpanya, maka pengharapan ini diharamkan. Namun seseorang yang mengharapkan kematian atau berdoa agar dimatikan karena mengharap pahala di sisi Allah Ta’ala, maka ia mendapat pahala. Orang yang membantu proses pembunuhan atas dirinya sendiri, atau bahkan melakukan tindakan bunuh diri, namun dengan tujuan menegakkan kalimat Allah dan menjaga nyawa kaum muslimin yang lain, maka ia mendapatkan apa yang ia niatkan, ia tidak dianggap melakukan tindakan bunuh diri. Dalil-dalil dan kajian dalil yang telah saya sebutkan di depan, telah menjawab persoalan melakukan bunuh diri karena takut akan membocorkan rahasia ini.
Karena itu, syaikhul Islam imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa 25/281 mengatakan :
“ Maka seyogyanya seorang mukmin membedakan antara larangan Allah Ta’ala kepada seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri atau menjadi sebab pembunuhan atas dirinya sendiri, dengan perintah Allah Ta’ala kepada orang-orang mukmin untuk menjual nyawa dan harta mereka dengan surga, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

“ Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membeli nyawa dan harta orang-orang beriman dengan surga..” [QS. Al-Taubah :111].

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِى نَفْسَهُ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللهِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah.” [QS. Al-Baqarah :207].
Jadi standar penilaian dalam hal ini adalah apa yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan al-sunah, bukan apa yang dianggap baik oleh seseorang, atau pendapat seseorang yang sebenarnya bertentangan dengan  Al-Qur’an dan al-sunah…”
Alangkah baiknya, apabila orang-orang yang yang mengharamkan dan melarang tindakan bunuh diri karena takut akan membocorkan rahasia, menelaah apa yang telah dikatakan oleh para fuqaha’, semisal imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam al-Mughni 2/551, juga imam al-Kharqi al-Hambali tentang kasus seorang wanita yang meninggal, sementara dalam perutnya ada seorang janin yang hidup. Jika tidak ada bidan perempuan yang mengeluarkan janin tersebut dari perut si wanita yang sudah meninggal ini, kaum laki-laki tetap tidak diperbolehkan mengeluarkan janin, janin tetap dibiarkan begitu saja meski akhirnya mati dan dikuburkan bersama ibunya. Hal ini demi menjaga kehormatan ibu yang sudah mati ini, agar jangan sampai oleh seorang laki-laki asing (bukan mahramnya) menyentuh kemaluannya untuk mengeluarkan si janin yang masih hidup. Artinya, kehidupan si janin dikorbankan demi menjaga kehormatan si ibu yang telah mati.
Wahai orang-orang yang berakal sehat dan berhati nurani, bukankah lebih layak lagi seorang muslim diperbolehkan untuk mengorbankan dirinya sendiri fi sabilillah demi menyelamatkan nyawa ribuan kaum mukminat agar tidak dilanggar kehormatannya oleh tentara najis Yahudi, Nasrani, komunis dan antek-antek murtad mereka dari kaum Nushairi di Syiria, Ba’ts Iraq, sekuleris Tunisa, Libia, Maroko,….dan negara-negara lain. Kami memohon keselamatan kepada Allah Ta’ala atas musibah yang saat ini menimpa kita, umat Islam.


Terakhir…Inti dan kesimpulan pembahasan

1-      Seluruh nash-nash yang mengharamkan seorang muslim melakukan tindakan bunuh diri, atau menghadapkan dirinya kepada tempat-tempat yang membawa kehancuran bagi dirinya, adalah nash-nash yang umum, sedang kasus kita ini adalah kasus khusus yang dikecualikan dari keumuman nash tersebut. Barang siapa yang tidak sependapat, hendaklah ia menyebutkan dalilnya sehingga kami bisa kembali merujuk kepada dalil tersebut.
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya :
“ Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.“ [QS. Al-Nisa’ :65].
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَّقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
Artinya :
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. “ [QS. Al-Nuur :51].
وَمَاكَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ
Artinya :
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.“ [QS. Al-Ahzab :36].
2-      Harus diketahui bahwa menganalogikan orang yang melakukan tindakan bunuh diri dalam al-‘amaliyat al-istisyhadiyah dengan orang yang melakukan tindakan bunuh diri disebabkan oleh stres dan keputus asaan karena tidak sabar dengan musibah duniawi, merupakan sebuah analogi yang tidak benar karena perbedaan sifat yang menjadi landasan hukum (qiyas ma’a al-fariq). Orang yang melakukan tindakan bunuh diri, melakukan hal itu karena didorong oleh keputus asaan, stres dan tidak sabar dengan musibah duniawi yang menimpanya. Ini tentu tidak diridhai oleh Allah Ta’ala. Adapun orang yang melakukan tindakan bunuh diri dalam al-‘amaliyat al-istisyhadiyah, ia melakukan tindakan itu karena didorong oleh niatan menebus keselamatan agama dan saudara-saudara seagama dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Ia menjaga kehormatan saudara-saudara seagama dengan darahnya, sampai dien bisa tegak dan musuh mengalami kerugiaan. Jiwanya tenang, riang dan gembira menyambut perjumpaan dengan Allah Ta’ala dan kenikmatan surga. Jadi, samakah dua kasus ini?
“ Apakah kedua permisalan ini sama ? Segala puji bagi Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
3-      Diperbolehkannya melakukan tindakan bunuh diri karena khawatir akan membocorkan rahasia, adalah disyaratkan oleh beberapa aturan, yaitu :
  • hendaklah niatnya ikhlash untuk mencari ridha Allah, dan ia melakukan tindakan ini karena didorong oleh keinginan untuk menjaga Islam, wilayah Islam dan kaum muslimin, bukan karena tidak sabar dengan beratnya siksaan dan putus asa dengan musibah yang ia alami.
  • Hendaklah rahasia yang ia ketahui bersifat sangat penting, bila terbongkar akan mengakibatkan bahaya besar bagi umat Islam, berupa kekalahan, atau terbunuhnya seorang muslim, atau dinodainya kehormatan seorang muslim, atau diseretnya umat Islam ke dalam penjara sehingga menghadapkan mereka kepada penyiksaan berkepanjangan yang hanya Allah Ta’ala semata yang mengetahui kapan akan berakhir.
  • Si pembawa rahasia benar-benar telah tertangkap oleh musuh, bukan hanya sekedar menduga akan tertangkap. Atau ia dalam kondisi terkepung dan sama sekali tidak bisa meloloskan diri. Jika ia bisa meloloskan diri atau melawan sekalipun konskuensinya ia akan terbunuh atau berhasil kabur, maka ia tidak boleh melakukan tindakan bunuh diri, bahkan ia wajib melawan, mengerahkan segenap kemampuannya untuk kabur atau menggiring mereka untuk membunuh dirinya.
  • Si pembawa rahasia sudah tidak mampu lagi untuk bertahan dalam menghadapi biadabnya penyiksaan para interogator. Jika ia mampu bersabar dan bertahan menghadapi beratnya siksaan, meskipun akhirnya ia mati, ia harus melakukannya dan ia tidak boleh melakukan tindakan bunuh diri. Kecuali jika ia bisa bertahan namun lama kelamaan dengan beratnya penyiksaan ia khawatir akan membocorkan rahasia, maka ia saat itu boleh melakukan bunuh diri, bahkan bunuh diri saat itu bisa menjadi sunah atau wajib, tergantung kepada dampak negatif yang akan timbul bila rahasia yang ia ketahui bocor ke tangan musuh.
Sebagai penutup…saya memohon kepada Allah ta’ala Yang Maha Berkuasa, untuk menjadikan pembahasan ni semata-mata untuk mencari ridha-Nya. Semoga Allah mengampuni segala ketergelinciran dalam kajian ini, saya tidak bermaksud selain mencari kebenaran. Apabial dalam kajian ini ada kebenaran, maka itu dari Allah ta’ala semata. Dan apabila ada kesalahan, maka itu semua dari saya pribadi dan dari setan, Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam berlepas diri darinya.
Penulis :
‘Abdu al-‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’
Sabtu, 18 Shafar 1422 H
Al-Hamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin.

Source : http://7ihadmedia.wordpress.com/2010/03/16/hukum-bunuh-diri-demi-rahasia/

[1] – Lihat Hasyiyah al-dasuqi 2/187, al-Mughni 10/447, Mughni al-Muhtaj 4/224 dan Majmu’ Fatawa 28/538. [2] – Fatawa Syaikh Muhammad bin Irahim 6/207-208, cetakan 1, 1399 H, mathabi’ al-Hukumiyah, Kitabu al-Jihad.
[3] – Maksud perkataan “ persetujuan” yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Qasim rahimahullah, ulama yang mengumpulkan fatwa-fatwa syaikh Muhammad bin Ibrahim ini, adalah bahwa fatwa ini termasuk fatwa yang ditulis dari halaqah-halaqah kajian syaikh Muhammad bin Ibrahim antara tahun 1357 H sampai tahun 1381 H, sebagaimana beliau sebutkan dalam mukadimah buku fatwa tersebut.
[4] – Seperti telah saya jelaskan sebelumnya dalam mukadimah, pembahasan ini tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah kajian. Namun setelah adanya fatwa syaikh Muhammad bin Ibrahim ini, pembahasannya bukan sekedar sebuah kajian semata, melainkan telah menjadi sebuah dasar dan dalil-dalil syar’i atas kasus ini dan praktek dalil.

Kamis, 11 Maret 2010


Pemalang - Di tengah prosesi pemakaman, pelayat Dulmatin tercengang. Beberapa kali, awan seolah membentuk lafal Allah.

Iring-iringan pelayat berhenti di perempatan, 100 meter Masjid Besar tempat jenazah disemayamkan, Jumat (12/3/2010). Sejumlah pelayat meneriakkan takbir sambil menunjuk langit.

Di langit, awan membentuk lafal Allah. Jelas dan cukup besar. Warga yang menyaksikan itu tampak sangat tercengang. Mereka turut menunjuk langit demi menarik perhatian warga lainnya.

Dalam hitungan detik, awan itu bergeser dan tak membentuk apa pun. Iring-iringan jenazah pun melanjutkan perjalanan ke Makam Dowo, Desa Loning, Petarukan.

Lafal Allah kembali muncul saat jenasah hendak dimasukkan ke liang lahat. Tapi pelayat tak sekaget seperti sebelumnya. Lalu, ketika prosesi pemakaman usai, di langit juga terlihat awan yang membentuk huruf Allah. Kali ini, sebagian pelayat 

"Allahu Akbar," teriak simpatisan Dulmatin berulang kali sambil menunjuk langit di arah tenggara itu. Warga yang hadir, ikut menunjuk langit dengan mimik seperti tak percaya.
(try/djo)


http://www.detiknews.com/read/2010/03/12/110408/1316950/10/pelayat-dulmatin-heboh-lihat-lafal-allah-di-langit

KAROMAH ALLOH SWT PADA ASY SYAHID DULMATIN ROHIMAHULLOH


Asy Syahid (Insya Alloh) Akhi Dulmatin Rohimahulloh.

Subhanallah, walau urat nadi tangan kiri beliau akh Dulmatin telah disayat agar darah dalam tubuhnya habis terkuras, namun atas izin Allah Ta'ala darah masih menetes dari lubang-lubang peluru di tubuhnya.

Mereka tidak mampu merobohkan seorang mujahid dengan satu peluru, sehingga 15 peluru ditembakkan untuk merobohkannya. Wajah gagah beliau tersenyum dan terlihat seperti orang yang sedang tidur bukan seperti orang yang mati.

Dan informasi dari orang yang memandikan As Syahid Insya Allah Dulmatin :

"Dileher As Syahid Insya Allah Dulmatin ada bekas jeratan tali, telunjuk kanan beliau terjulur layaknya orang yang sedang bertasyahud dalam sholat, jasadnya lemas tidak kaku, dan darahnya terus mengalir layaknya orang yang baru meninggal".

Yaa Alloh terimalah seluruh amal beliau dan terimalah beliau disisi-Mu sebagai Syuhada, Amin.

Saksi Mata
Hamba Alloh

http://www.facebook.com/note.php?note_id=355921769914&id=100000160535801&ref=mf

Rabu, 10 Maret 2010

Wanita-wanita MILITANT!!!


Ibnu Ishaq mengatakan Abdulloh bin Abu Bakr berkata kepadanya bahwa Rosululloh SAW menoleh, kemudian melihat Ummu Sulaim binti Milhan yang ketika itu ikut berperang bersama suaminya, Abu Tholhah.
Ummu Sulaim mengikat pinggangnya dengan kain burdahnya, yang ia sedang mengandung Abdulloh bin Abu Tholhah, dan menaiki onta milik Abu Tholhah. Ia khawatir terlempar dari ontanya, untuk itu, ia mendekatkan kepala unta kepadanya dan masukkan tangannya ke gelang di sisi hidung onta. Rosululloh SAW bersabda kepada Ummu Sulaim, “Hai, Ummu Sulaim.” Ummu Sulaim berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu wahai Rosululloh! Aku akan membunuh mereka yang melarikan diri darimu sebagaimana engkau membunuh orang-orang yang memerangimu, karena mereka layak mendapatkannya.” Rosululloh SAW bersabda, “Bukanlah Alloh sudah cukup, wahai Ummu Sulaim?”


Ketika itu, Ummu Sulaim hanya membawa pisau. Abu Tholhah berkata kepada Ummu Sulaim. “Kenapa engkau membawa pisau seperti ini, hai Ummu Sulaim?” Ummu Sulaim menjawab, “Pisau ini sengaja aku bawa. Jika salah seorang kaum musyrikin mendekat kepadaku, aku akan menikamnya dengan pisau ini.” Abu Tholhah berkata, “Wahai Rosululloh, tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan Ummu Sulaim Ar Rumaisha?”
Tidakkah engkau mendengar wahai para muslimat!

Dinukil dari kitab Siroh Ibnu Hisyam hal. 416.

Shofiyyah binti Abdul Mutholib

Ibnu Ishaq berkata, “Yahya bin Abbad bin Abdulloh bin Az Zubair berkata kepadaku dari ayahnya yaitu Abbad yang berkata bahwa Shofiyyah binti Abdul Muthollib ra berada di benteng tinggi milik Hasan bin Tsabit. Shofiyyah binti Abdul Mutholib berkata, ‘Hassan bin Tsabit berada di benteng tersebut bersama para wanita dan anak-anak. Tiba-tiba salah seorang Yahudi berjalan melewati kami mengelilingi benteng. Bani Quroidhoh telah mengumumkan perang dan membatalkan perjanjian dengan Rosululloh SAW. Tidak ada seorangpun yang bisa melindungi kami dari mereka, karena Rosululloh SAW dan kaum muslimin sedang menghadapi musuh hingga tidak bisa pergi ke tempat kami jika seseorang datang menyerang kami. Aku berkata, “Hai Hassan, orang Yahudi ini seperti engkau lihat mengelilingi benteng. Demi Alloh, aku khawatir ia menyebarkan aurat kita kepada orang-orang Yahudi di belakang kita. Rosululloh SAW dan sahabat-sahabatnya sibuk hingga tidak bisa mengurusi kita, oleh Karena itu, turunlah engkau kepadanya dan bunuhlah dia!” Hassan bin Tsabit berkata, “Semoga Alloh mengampuni dosa-dosamu, hai anak Abdul Muthollib, demi Alloh, engkau tahu bahwa aku tidak ahli untuk tugas tersebut.” Ketika Hassan bin Tsabit berkata seperti itu dan aku tidak melihat sesuatu padanya, aku mengencangkan kainku, kemudian mengambil tongkat besi. Setelah itu, aku turun dari benteng menuju orang yahudi tersebut dan memukulnya dengan tongkat besiku hingga tewas. Setelah membunuhnya aku naik ke atas benteng dan berkata kepada Hassan bin Tsabit, “Hai Hassan, turunlah engkau ke jenazah orang Yahudi tersebut, kemudian ambillah apa yang dikenakannya, karena tidak ada yang menghalangiku untuk mengambil apa yang ia kenakannya, melainkan ia orang laki-laki.” Hassan bin Tsabit berkata, “Aku tidak butuh untuk mengabil barang-barangnya, hai putri Abdul Mutholib.”

Kesabaran Shofiyyah
Ibnu Ishaq berkata, “Shofiyyah binti Abdul Mutholib – seperti dikatakan kepadaku – datang untuk melihat Hamzah bin Abdul Mutholib, saudara sekandungnya. Rosululloh SAW bersabda kepada anak Shofiyyah, Az Zubair bin Awwam, “Temui ibumu dan suruh dia pulang agar tidak melihat apa yang terjadi pada saudaranya.” Az Zubair bin Al Awwam berkata kepada ibunya, Shofiyyah, “Ibu, sesungguhnya Rosululloh SAW menyuruhmu pulang.” Shofiyyah berkata, “Kenapa Rosululloh SAW menyuruhku pulang, padahal aku mendapat informasi bahwa saudaraku dicincang-cincang dan itu terjadi di jalan Alloh? Tidak ada yang melegakanku selain itu. Aku pasti mengharap pahala Alloh dan pasti bersabar insyaAlloh.” Az Zubair bin Al Awwam menghadap Rosululloh SAW dan menceritakan hasil pertemuan dengan ibunya, kemudian beliau bersabda, “Biarkan dia!” Shofiyyah pun datang ke jenasah saudaranya, Hamzah bin Abdul Mutholib, kemudian melihat, menyolatinya, istirja’ (mengucapkan inna lillahi wa inna ilahi rojiun), dan memintakan ampun untuknya. Setelah itu Rosululloh SAW memerintahkan pemakaman jenazah Hamzah bin Abdul Mutholib.” (Siroh ibnu Hisyam II/62)

Seorang wanita dari Bani Ghiffar.

Ibnu Ishaq mengatakan, bahwa Sulaiman bin Suhaim berkata kepadanya dari Umaiyyah binti Abu Ash Shalt dari seorang wanita dari Bani Ghifar yang berkata, “Aku datang kepada Rosululloh bersama rombongan wanita dari Bani Ghifar dan berkata, “Wahai Rosululloh, kami ingin keluar bersamamu ke tempat yang engkau tuju – ketika beliau sedang berangkat ke Khoibar -, agar kami bisa mengobati orang-orang yang terluka dan membantu kaum muslimin semampu kami.” Rosululloh SAW bersabda,”Dengan berkah Alloh, silahkan.” Kami pun berangkat bersama beliau. Ketika itu, aku gadis yang baru menginjak usia dewasa. Rosululloh SAW menempatkanku di kantong pelana kudanya. Demi Alloh beliau turun dari unta hingga waktu subuh dan menghentikan untanya. Aku pun turun dari kantong pelana unta beliau ternyata di dalamnya terdapat darah. Itulah darah haidku yang pertama kali. Aku melompat ke arah unta dan merasa malu. Ketika beliau melihatku dan melihat darah, beliau bersabda, “apa yang terjadi denganmu, barangkali engkau baru haid?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Perbaikilah dirimu, ambillah tempat air, masukkan garam ke dalamnya, besihkan kantong pelana unta yang terkena darah dengan air tersebut, kemudian kembalilah ke kendaraanmu.” Ketika Rosululloh SAW berhasil menaklukkan Khoibar, beliau memberi kami sedikit dari harta fay’I, mengambil kalung yang kalian lihat dileherku ini, memberikannya kepadaku, dan memasangkannya ke leherku. Demi Alloh kalung ini tidak berpisah denganku selama-lamanya.” (Siroh Ibnu Hisyam II/311).

Seorang wanita dari Bani Dinar.

Ibnu Ishaq berkata, “Abdul Wahid bin Abu Aun berkata kepadaku dari Ismail bin Muhammad bin Sa’ad bin Abu Waqqosh yang berkata, “Rosululloh SAW berjalan melewati seorang wanita Bani Dinar yang kehilangan suami, saudara dan ayahnya di perang Uhud. Ketika kesyahidan ketiganya disampaikan kepadanya, ia berkata, “Bagaimana dengan kabar Rosululloh SAW?” Para sahabat berkata. “Beliau baik-baik saja, hai ibu si Fulan. Beliau alhamdulillah seperti yang engkau inginkan.” Wanita dari Bani Dinar tersebut berkata, “Perlihatkan Rosululloh SAW agar aku bisa melihat beliau!” wanita tersebut pun dibawa kepada Rosululloh SAW. Sesudah melihatnya, ia berkata, “Semua musibah sesudahmu itu kecil tidak ada artinya.”.
(Siroh Ibnu Hisyam II/65).

Seorang wanita kalangan bani Abdud Daar ketika sampai kepadanya kabar kesyahidan suaminya dan saudaranya serta bapaknya, lalu dia berkata: “Apa yang terjadi dengan Rosululloh SAW?” Mereka berkata: “Dia baik-baik saja”. Wanita tersebut berkata: “Setiap musibah selain pada dirimu wahai Rosululloh SAW adalah kecil” artinya “remeh dan sepele”.

Rubai’ binti Muawwidz

Telah disebutkan di dalam hadits shohih dari Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dari Rubai’ binti Muawwidz ra dia berkata: “Kami berperang bersama Nabi SAW, kami memberi minum para prajurit dan membantu mereka, mengembalikan yang terluka dan yang terbunuh ke Madinah”.

Asma’ binti Abu Bakar

Ibnu Ishaq berkata, “Tak ketinggalan, Asma binti Abû Bakr rodliyallohu ‘anha. juga mengirim makanan yang dibutuhkan oleh keduanya di waktu sore. Asma berkata, ‘Ketika Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam keluar bersama Abû Bakar, kami didatangi oleh beberapa orang Quraisy, di antara mereka ada Abû Jahal bin Hisyâm, mereka berdiri di depan pintu rumah Abû Bakar, maka aku keluar menemui mereka. Mereka berkata, “Di mana ayahmu, hai putri Abû Bakar?” aku katakan, “Demi Alloh saya tidak tahu di mana ayahku?” Asma melanjutkan, ‘Lalu Abû Jahal mengangkat tangannya — padahal dia adalah orang yang jahat lagi bengis — lantas ia tampar pipiku hingga anting-antingku terlempar, baru kemudian mereka pergi.

Ibnu Ishaq berkata, telah menceritakan kepadaku Yahya bin Abbâd bin ‘Abdullôh bin Zubair bahwa ayahnya bercerita tentang neneknya, Asma, ia berkata: “Tatkala Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam keluar bersama Abû Bakar, Abû Bakar membawa seluruh hartanya yang berjumlah lima ribu atau enam ribu dirham, ia pergi dengan membawa semua harta tadi. Asma melanjutkan, “Kemudian kakekku, Abû Quhafah masuk menemui kami, saat itu beliau sudah buta, ia mengatakan, ‘Demi Alloh, sungguh aku melihat Abû Bakar telah membuat kalian sedih dengan harta dan diri yang ia bawa.” Aku menimpali, “Sama sekali tidak wahai Abah! Beliau justeru telah meninggalkan kebaikan yang banyak bagi kita.” Asma berkata lagi, “Kemudian aku mengambil banyak batu lalu kutaruh di dalam sebuah kantong di dalam rumah yang biasa ayahku menaruh hartanya, kemudian aku letakkan kain di atasnya dan kutarik tangan kakekku, aku katakan, “Hai abah, letakkan tanganmu di atas harta ini.” Asma melanjutkan, “Maka iapun meletakkan tangannya di atasnya lalu berkata, “Tidak apa-apa, kalau ia meninggalkan harta seperti ini buat kalian, berarti ia telah berbuat baik dan ini cukup bagi kalian.” Padahal, demi Alloh, ayahku tidak meninggalkan apa-apa buat kami, tapi saya hanya ingin menenangkan orang tua ini.

‘Aisyah berkata: Dan kami mempersiapkan keduanya dengan persiapan yang paling cepat, dan kami letakkan rangsum makanan untuk keduanya di dalam sebuah kantong kulit. Lalu Asma’ binti Abi Bakar memotong ikat pinggangnya kemudian ia ikat kantong kulit tersebut dengannya. Lalu Asma’ bin ti Abi Bakar memotong ikat penggangnya lagi untuk ia jadikan tali pada mulut geriba (tempat air / susu yang terbuat dari kulit). Oleh karena itulah Asma’ binti Abi Bakar dijuluki dengan Dzatun Nithoqoin (yang memiliki dua ikat pinggang).


http://annajahsolo.wordpress.com/2010/02/28/wanita-wanita-militan%E2%80%A6/

RISALAH DARI BALIK JERUJI BESI (Ujian Itu Pasti, Sabar Itu Pilihan)



Kepada:

Para Mujahid dan Mujahidah serta saudara-saudaraku yang ku cintai karena Allah di bumi Indonesia.

بسم الله الرحمن الرحيم

UJIAN ITU PASTI, SABAR ITU PILIHAN

“Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah dan Engkau jadikan kesedihan itu kemudahan jika Engkau berkehendak.”

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Saudara/Saudari, Ikhwani wa Akhwati Rakhimahullah…

Semoga Allah senantiasa memberiku kekuatan berupa keistiqamahan dan kesabaran dalam perjuangan Dakwah dan Jihad ini. Rapatkanlah barisan, bersatulah dalam barisan panji “LaailahaillAllah”, dan perangilah orang-orang yang memerangi Islam dengan segala kekuatan yang kalian mampui, melalui sarana apapun, fisik, media, harta, dan lain-lain hingga Dien (Islam) ini dan hanya milik Allah semata.

Usah kau ragu dalam memilih jalan terbaik ini, karena siapapun yang berdiri tegak di garis paling depan dalam menegakkan agama Allah ini, insyaAllah ia akan meraih kemuliaan di dunia dan syurga yang abadi di akhirat sana. Jika kalian mundur dan takut untuk mempertaruhkan jiwa dan raga kalian untuk Allah, usah bermimpi untuk mendapat kehidupan yang mulia atau mati syahid. Oleh itu, bertaqwalah kepada Allah, Syurga itu benar adanya, dan Neraka itu juga benar adanya. Raihlah Syurga Allah dengan berjihad membela agama-Nya. Janganlah kau bersedih dan janganlah pula kau takut, sesungguhnya Allah senantiasa bersama orang-orang yang beriman dan berjihad di jalan-Nya.

Hidup yang sementara ini jangan kau pergunakan untuk main-main. Umur kita tidak akan lama, kematian segera menghampiri kita, kalu kenapa kita masih saja lalai dan takut dalam membela agama Allah? Mengapa kita tidak yakin dengan adanya Allah disamping kita? Mengapa selalu saja kita ragu akan kekuasaan Allah atas segala hal di dunia ini? Hasbunallah wa nikmal wakil…

Ikhwani wa Akhwati Fillah…

Jujur saja saudaraku, tanpa Iman dan Taqwa, ku juga goyah dan rasa terguncang dengan ujian dan segala hal yang telah Dia berikan, dari kesulitan menghadapi segala tuduhan-tuduhan dan fitnah yang telah direkayasa oleh para thaghut-thaghut laknatullah ‘alaihim ajma’in ini, kadang membuatku merasa marah dengan mereka, namun disaat semua tuduhan dan rekayasa yang mereka lemparkan kepadaku, ku anggap angin lalu dan ku letakkan seluruh jiwa-ragaku kepada Allah, maka hanya ketenagan dan keindahan dalam kesabaran sajalah yang ku nikmati, Alhamdulillah…

Renungkan hadits Qudsi ini, sungguh indah sekali,

ابن آدم خلقتك لنفسي فلا تلعب و تكفلت برزقك فلا تتعب ، ابن آدم اطلبني تجدني ، فإن و جدتني و جدت كلّ شيء ، و إن فُتَّك فاتك كلّ شيء ، و أنا أحب إليك من كلّ شيء من فيض القدير ، شرع الجامع الصغير

Artinya: “Wahai Anak Adam, Aku telah menciptakan engkau untuk beribadah kepada-Ku, maka janganlah engkau bermain-main, Aku telah menjamin rezkimu, maka usahlah engkau bersusah payah. Wahai anak Adam, carilah Aku, maka engkau akan dapatkan Aku, jika engkau telah mendapatkan-Ku, maka engkau telah mendapatkan segala-galanya. Dan jika engkau kehilangan Aku, berarti engkau telah kehilangan segala-galanya. Dan Aku lebih baik bagimu dari segala sesuatu.”

Subhanallah, sungguh indah sekali saudaraku. Hanya kepada Allah-lah kita meminta dan kepada Allah jualah kita kembali.

Ku renungkan hadits Qudsi ini berhari-hari, lalu ku simpulkan bahwa dunia ini tidak ada yang lebih tinggi dan berkuasa kecuali Allah. Lalu ku bertanya kepada diri ini, mengapa harus gundah, sedih dan goyah? Mengapa? Jika kita mendapatkan Allah, maka mita mendapatkan segalanya. AllahuAkbar…!

Saudaraku sekalian yang ku cintai karena Allah…

Ku hanya ingin mengajak kalian untuk terus bersemangat dalam situasi apapun. Apa yang ku dan teman-teman Mujahid yang lain hadapi adalah masih kecil dibanding ujian-ujian para anbiya (Nabi-nabi), sahabat Nabi dan tabi’in-tabi’in, beserta para mujahid-mujahid yang berjuang dibelahan dunia ini.

Berdo’alah agar kami semua tegar dan istiqomah, sehingga kemenagan Islam terus terlihat dan Dienul Islam ini kuat dan kaum Muslimin bersatu dibawah panji “LailahaillAllah”.

Do’akan ku agar dimudahkan Allah atas segalanya, dan dijauhkan dari segala fitnah-fitnah ini.
Hanya Allah sajalah tempatku meminta, Dialah yang berkuasa atas segalanya, sedangkan manusia tidak berfikir! Allahu Akbar..! Wal Izzatu Lillah…


والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Istana Uzlah, 1 Maret 2010
Saudara kalian,


Prince of Jihad @ M. Jibriel Abdul Rahman

http://freejibriel.blogspot.com/2010/03/ujian-itu-pasti-sabar-itu-pilihan.html

RISALAH BUAT PARA PENUNTUT ILMU


Menurutmu, wahai penuntut ilmu, bagaimana kalau penguasa itu adalah thoghut yang bengis dan mengendalikan manusia dengan kekuatan, menjauhi syariat Allah, dan membantu orang-orang Kristen dalam memerangi kaum muslimin di mana-mana? Mereka juga menjadikan undang-undang buatan manusia sebagai hukum yang berlaku pada leher-leher manusia serta menghapuskan hukum hudud… dan masih banyak lagi perbuatan murtad dan zindiq lain yang mereka lakukan.Maka, waspadailah mereka. Waspadailah orang yang duduk dengan mereka, baik dari kalangan ulama dan para pejabat-pejabat penguasa, yang telah menajisi ilmunya dengan duduk bersama musuh-musuh Allah. Bahkan ikut serta dengan mereka dalam mengkaburkan berbagai fakta, menyesatkan rakyat dan menghias-hias kebatilan.


RISALAH BUAT PARA PENUNTUT ILMU

Bismillahirrohmaanirrohiim.Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam. Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para shahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti jejak dan menelusuri tuntunanya hingga hari pembalasan.

Wa ba‘du:
Inilah risalah yang saya tujukan kepada saudara saya penuntut ilmu:

Assalamualaikum wa rahmatullah wa barokatuh…

• Wahai penuntut ilmu, inilah ungkapan dan wasiyat, yang saya tulis sebagai peringatan dan nasehat yang tulus untukmu, serta sebagai penunaian tanggung jawabku nanti. Saya memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla semoga risalah ini sampai kepadamu ketika engkau dalam kondisi mendapatkan nikmat, kesejahteraan dan kesehatan.


• Wahai penuntut ilmu, hati-hatilah jangan sampai niat engkau mencari ilmu syar’I demi meraih jabatan atau tujuan duniawi. Karena telah tsabit dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam bahwa beliau bersabda,
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba pakaian, celakalah hamba busana, celaka dan amat buruklah ia, dan bila tertusuk duri tidak bisa tercabut lagi…” dst hingga akhir hadits.

dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami penuhi baginya amal usaha mereka di dalamnya dan mereka tidak dirugikan sama sekali.” [QS. Hud: 15]


Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab membuat sebuah bab dalam Kitab At-Tauhid yang berkaitan dengan ayat ini: Bab Termasuk Syirik: Ketika orang Beramal Karena Menginginkan Dunia.


Kemudian, Syaikh Abdurrohman bin Hasan telah menjelaskan bab ini dalam Syarahnya terhadap Kitab At-Tauhid yang berjudul Qurrotu ‘Uyuni `l-Muwahhidin, beliau Rahimahullah berkata: “Contoh dari ini adalah imam-imam masjid, para pengajar, dan mujahidin, yang bekerja dalam rangka memperoleh imbalan dari jihad yang ia lakukan.”Maka, berhati-hatilah dari ini, semoga Alloh memberi aku dan engkau anugerah berupa keikhlasan.


• Wahai pencari ilmu, ketika engkau mencari ilmu, niatkanlah itu untuk menghilangkan kebodohan dari dalam dirimu, sehingga engkau beribadah kepada Allah atas dasar ilmu yang terang. Selanjutnya, niatkan untuk menghilangkan kebodohan dari umat ini, supaya nantinya engkau ajarkan kepada mereka agama Allah ‘Azza wa Jalla.


• Wahai penuntut ilmu, ketahuilah, menghafal Al-Quran memang berpahala dan merupakan satu keutamaan. Akan tetapi, mengamalkannya adalah kewajiban yang harus engkau laksanakan. Sesungguhnya kami melihat beberapa kaum di zaman sekarang, yang menganggap menghafal Al-Quran adalah kewajiban, sementara mengamalkannya adalah keutamaan. Maka, hindarilah sikap seperti ini. Sesungguhnya orang-orang seperti ini telah menihilkan banyak sekali nash-nash syar‘i. Aku ingatkan engkau dengan perkataan seorang shahabat Radiyallahu ‘anhu yang mengatakan: “Kami belajar 10 ayat dari Al-Quran, kami tidak melewatinya sebelum kami memahami dan mengamalkannya.” Sungguh, beruntunglah para shahabat.


• Wahai penuntut ilmu: Hindarilah, sekali lagi hindarilah, hindari betul sikap taklid. Sebab taklid adalah penyakit yang mematikan. Berpeganglah kepada Al-Quran dan sunnah serta pemahaman salafus sholeh, meskipun manusia tidak menerimamu.

Imam Syafi‘i Rahimahullah berkata,
“Para ulama, baik salaf maupun kholaf, sepakat bahwa siapa yang telah mengetahui dengan jelas sebuah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, maka ia tidak boleh meninggalkannya lantaran perkataan seseorang.”


• Wahai penuntut ilmu, hindarilah sifat mengkultuskan para tokoh atau mengagung-agungkan mereka. Hendaknya pengagungan terhadap Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya lebih engkau dahulukan daripada orang lain, siapapun dia. Jangan terlalu terpaku dengan nama dan sebutan-sebutan.


• Wahai penuntut ilmu, jauhilah sifat ‘ujub terhadap diri sendiri dan ghurur (besar hati). Sebab itu adalah biang kebinasaan orang-orang sholeh.


• Wahai penuntut ilmu, ketahuilah, tugas paling penting dan kewajiban paling besar adalah tauhid. Maka konsentrasikanlah sebagian besar perhatianmu kepada urusan ini. Pelajari tauhid, baik secara ilmu, amal, dan dakwah. Sebab sebagian besar dakwah panutanmu –Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam— adalah untuk urusan tauhid.


• Wahai penuntut ilmu, bersikap jujurlah kepada saudara-saudaramu sesama pencari ilmu. Sesungguhnya aku telah menyaksikan ada beberapa orang penuntut ilmu yang sudah terbiasa berdusta dan terkenal suka menipu. Kami melihat mereka menghadapi suatu kaum dengan satu wajah, kemudian menghadapi kaum lain dengan wajah yang lain. Mereka mengatakan suatu perkataan kepadamu, lalu mengatakan kepada saudara-saudaramu yang lain dengan perkataan yang berbeda. Di sini ia mendukung, di sana ia mengingkari. Maka, hindarilah mereka, jangan bermajelis dengan mereka, sebab teman duduk itu akan berpengaruh terhadap dirimu.


• Wahai penuntut ilmu, sesungguhnya medan-medan jihad kehilangan orang sepertimu, kamp-kamp tadrib mencari-cari orang macam dirimu. Lantas, di manakah engkau? Kenapa tidak membela orang-orang tertindas?


• Wahai penuntut ilmu, sesungguhnya orang-orang di sekelilingmu melihatmu sebagai tauladan. Maka jangan sampai sikap dudukmu menjadi penghambat mereka untuk berangkat berjihad.


• Wahai penuntut ilmu, hati-hati, janganlah engkau mengemukakan berbagai alasan untuk tidak berjihad yang itu tidak diterima, di mana kalaulah alasan itu diajukan oleh shahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam juga tidak diterima. Bersikap jujurlah engkau, sesungguhnya Allah senantiasa mengawasimu dan mengetahui hal-hal yang tersembunyi.


• Wahai penuntut ilmu, di manakah engkau dari firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapakah apabila dikatakan kepada kalian: Berangkatlah berperang di jalan Allah, kalian malah merasa berat dan condong ke bumi? Apakah engkau lebih suka kehidupan dunia daripada akhirat? Tidaklah kehidupan dunia dibandingkan akhirat itu kecuali sedikit saja. Jika kalian tidak keluar berperang, Allah akan mengazab kalian dengan azab yang pedih serta mengganti kalian dengan kaum yang lain, dan kalian sama sekali tidak bisa membahayakan mereka. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taubah: 38-39)


Dan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Keluarlah berperang, baik dalam keadaan ringan ataupun berat, dan berjihadlah di jalan Allah dengan harta dan nyawa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41)


• Wahai penuntut ilmu, ketahuilah bahwa keberanian memiliki andil yang besar ketika itu adalah pada diri orang yang berilmu. Maka, jadilah orang yang berani menyatakan kebenaran apa adanya, jangan berkompromi dengan siapapun. Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu wa ta’ala senantiasa menjagamu dari apa saja yang tidak menyenangkan—bahwa sekedar menyembunyikan kebenaran dan diam tidak menyampaikannya merupakan perbuatan yang pelakunya mendapat ancaman di sisi Allah. Bahkan ia divonis mendapatkan laknat, La Haula wa La quwwata illaa bil-Lah. Lantas, bagaimanakah dengan orang yang mengucapkan kebatilan?

Dan aku ingatkan engkau dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Dan ingatlah ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang diberi kitab: Hendaklah kalian menyampaikannya kepada manusia dan jangan menyembunyikannya. Lantas mereka membuang janji tersebut dan menukarnya dengan harga yang sedikit. Sungguh, teramat buruklah apa yang mereka beli itu.” (QS. Ali Imron: 187)


Kami telah menyaksikan sendiri, orang-orang yang Allah anugerahi ilmu dan hafalan, dan terkenal di kalangan manusia, tetapi mereka terjangkiti sifat pengecut, lemah nyali, dan penakut. Lantas, apa gunanya ilmu jika tidak diamalkan, padahal banyak sekali orang telah tersesat? Sungguh benarlah apa

yang disabdakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam:
“Sesuatu yang paling kukhawatirkan menimpa kalian adalah, imam-imam yang menyesatkan.”


• Wahai penuntut ilmu, janganlah engkau masuk ke tempat para penguasa. Sebab terdapat hadits shohih dari Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wa salam, bahwa beliau bersabda,
“Barangsiapa masuk ke penguasa, maka ia telah tertimpa fitnah.”


Menurutmu, wahai penuntut ilmu, bagaimana kalau penguasa itu adalah thoghut yang bengis dan mengendalikan manusia dengan kekuatan, menjauhi syariat Allah, dan membantu orang-orang Kristen dalam memerangi kaum muslimin di mana-mana? Mereka juga menjadikan undang-undang buatan manusia sebagai hukum yang berlaku pada leher-leher manusia serta menghapuskan hukum hudud… dan masih banyak lagi perbuatan murtad dan zindiq lain yang mereka lakukan.

Maka, waspadailah mereka. Waspadailah orang yang duduk dengan mereka, baik dari kalangan ulama dan para pejabat-pejabat penguasa, yang telah menajisi ilmunya dengan duduk bersama musuh-musuh Allah. Bahkan ikut serta dengan mereka dalam mengkaburkan berbagai fakta, menyesatkan rakyat dan menghias-hias kebatilan.


• Wahai penuntut ilmu, jangan jadi orang-orang yang memperhatikan urusan para pemuda dalam halaqoh-halaqoh, acara-acara liburan, mukhoyyam (camping), atau dauroh-dauroh, tetapi kemudian meracuni pemikiran mereka sehingga mereka tidak mau pergi berjihad di jalan Allah, atau mengakibatkan mereka tidak mau mengatakan kebenaran lantaran suatu alasan atau alasan lain, atau mengakibatkan mereka tidak menyebut orang dzalim: “Hai Dzalim,” atau orang kafir: “Hai kafir.”


Aku nasehati engkau, jika engkau termasuk ketua sekelompok pemuda, kobarkanlah semangat mereka untuk berperang. Baik di sini atau di mana saja. Terangkanlah Islam apa adanya, lalu jelaskan mengapa bisa begitu. Kalau engkau tidak mampu seperti ini, berikan kesempatan orang lain untuk menempati posisimu dan jangan menjadi orang-orang mukhodzil (pelemah semangat) tanpa engkau sadari. Demi Allah, engkau mati dengan mempertanggung jawabkan dirimu sendiri, itu lebih baik daripada engkau mati tetapi akan dimintai pertanggung jawaban tentang para pemuda Islam di hadapan Allah kelak. Baik karena mengkaburkan kebenaran kepada mereka, atau menghalangi mereka dari berjihad. Wa la haula wa la quwwata illa billah.

Aku ingatkan engkau dengan sikap dari suri tauladanmu, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam, ketika beliau bertawaf di Ka‘bah sendirian, ketika beliau masih dalam kondisi lemah, ketika kaum musyrikin mengejek dan mengolok-olok beliau, beliau mengatakan: “Wahai orang-orang Quraisy, sungguh aku datang kepada kalian dengan sembelih,” Kisah ini ada dalam Musnad Imam Ahmad.


• Wahai penuntut ilmu, secara ringkas saya tegaskan kepadamu: Jika engkau benar-benar meneladani Nabimu, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam, dalam setiap hal, engkau terus terang di dalam melakukan dan menerangkannya, maka pasti engkau akan diuji dengan bala’. Bala’ itu turun sesuai dengan kadar keimanan sebagaimana hal itu diberitakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja mengatakan: Kami beriman, sementara mereka tidak diuji.” [QS. Al-Ankabut: 2]


Ketahuilah, suatu saat nanti engkau akan dijauhi oleh para penuntut ilmu yang lain, oleh para ulama dan tokoh-tokoh penguasa. Engkau akan dikucilkan, dicaci dan dicela. Engkau akan dikatakan sebagai Khowarij, dan kata-kata semisal yang hari ini dituduhkan kepada para da’I Tauhid yang tertindas. Kalau engkau mengalaminya, bersabarlah. Sesungguhnya dalam kesusahan ada kemudahan, sesungguhnya dalam kesusahan ada kemudahan.


• Wahai penuntut ilmu, waspadailah para Du’at mengajak hidup berdampingan bersama orang-orang kafir. Hati-hatilah terhadap mereka yang mematahkan semangat Jihad lagi kalah di hadapan musuh-musuh Allah. Hati-hatilah dengan mereka. Jangan terpedaya dengan kata-kata manis bercampur racun mematikan yang mereka lontarkan, jangan terpedaya dengan materi-materi pelajaran yang mereka sampaikan, jangan terpedaya dengan orang-orang yang hadir dalam majelis mereka. Hati-hatilah terhadap mereka, sebab minimal kita harus sikapi mereka sebagaimana kita bersikap terhadap ahli bid‘ah. Para salafus sholeh kita telah mengingatkan kita agar menjauhi ahli bid‘ah. Sebagai contoh, bacalah kitab Al-Bida‘ tulisan Ibnu Widhoh.


• Wahai penuntut ilmu, camkan selalu pandanganmu kepada kitab Rabb kita dan terhadap sunnah Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wa salam, renungkanlah dengan baik. Sebab dalam keduanya terdapat banyak kebaikan.


• Wahai penuntut ilmu, berusahalah sebisa mungkin untuk mendialogkan berbagai permasalahan dengan ikhwan-ikhwanmu yang lain. Sebab sesungguhnya kemantaban dalam menguasai berbagai persoalan adalah dengan berdialog.


• Wahai penuntut ilmu, tetapkanlah waktu yang engkau khususkan untuk menyendiri dengan Rabbmu, yang di sana engkau membaca kalam-Nya, bermunajat dan berdoa kepada-Nya. Karena doa termasuk ibadah terbesar, sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat shohih dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam,
“Doa adalah ibadah itu sendiri.”


• Wahai penuntut ilmu, jauhilah ulama suu’, janganlah bermajelis atau berhalaqoh bersama mereka. Karena mereka adalah orang-orang jahat dan sesat. Mereka mengkaburkan agama Islam di hadapan kaum muslimin, Mereka juga menyesatkan masyarakat, dan ikut serta bersama para penguasa [thoghut] dalam menjual tanah air dan tempat suci kaum muslimin.


Ini dia Al-Quds , semenjak 50 tahun lebih berada dalam cengkraman yahudi, apakah yang telah diperbuat para ulama penguasa tersebut? Lihat itu Hai’atu Kibaril Ulama atau Al-Lajnah Ad-Daimah, siapakah yang mendirikannya, siapakah yang memilih dan mengangkat mereka? Sesungguhnya Mereka adalah para penguasa pengkhianat.


• Wahai penuntut ilmu, para ulama yang banyak dijadikan rujukan oleh para pemuda itu, ada yang terang-terangan mengatakan bahwasanya tidak ada permusuhan antara kaum muslimin dengan umat yang lain. Ada juga yang pindah ke negeri orang-orang nashrani untuk mempersatukan anggota parlemen dan di sana disambut oleh wanita-wanita pelacur Eropa, seolah tak terjadi apa-apa. Yang lain berkata: andai orang-orang pergi berjihad maka siapa yang tinggal dan yang menjaga toko-toko. Ada yang lancang bersumpah atas nama Allah ‘Azza wa Jalla seraya berkata: Bahwa siapa yang terbunuh di Afghanistan, tapi ia ke sana tanpa seizin waliyyul khamri –maksudnya pemerintah yang membolehkan beredarnya khomer—, maka ia bukan syahid. Sedangkan Pemimpin dan sesepuh mereka [ mufti saudi-pen] mengatakan bahwa Amerika adalah orang-orang yang tak berdosa. Yang lain mengatakan, mendonor darah kepada orang-orang Amerika adalah boleh hukumnya. Dan yang lain… dan yang lain… dan seterusnya…

Ulama lain, ada yang berlomba-lomba berpose bersama para thoghut setiap pekan.
Sungguh, kami telah mendatangi mereka senior-senior mereka yang juga ulama besar, kami nasehati mereka, kami ajak dialog dan kami berbincang-bincang dengan mereka. Akan tetapi, la haula wa la quwwata illa billah, tidak ada faedahnya.


Oleh karena itu, wahai penuntut ilmu, aku bertanya kepadamu atas nama Allah, apakah ini keadaan ulama Islam, atau ini adalah keadaan para boneka thoghut dan para penjilat penguasa???


Terakhir kalinya, aku memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan kalimat-kalimat ini tadi bermanfaat bagi pembacanya, serta menjadikannya diterima di bumi. Aku juga memohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, agar menganugerahi dirimu ilmu yang terang dan kemampuan untuk mengamalkannya, semoga engkau diberkahi selalu di manapun engkau berada dan Allah menjadikanmu termasuk golongan orang yang menyuarakan Al-Haq.


Sebagai penutup, aku memohon agar Allah memberiku kesyahidan, yang dengan itu Dia akan ridho dan tertawa kepada kita. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa, Mahapemurah dan Mahadermawan. Dan doa terakhir kami, Anil hamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam.


Penulis: Syaikh Sulthan Al-Utaybi
Selesai pada malam Jum‘at, 28/ 7/ 1424 H

Penterjemah: Abu Sulaiman

CANTIKKU HANYA UNTUK SUAMIKU

Mempercantik diri bagiku sebagai seorang wanita adalah lumrah, sekalipun Allah telah menciptakan kaumku, Binti Hawa, dalam bentuk yang cantik lagi menarik, yang aku maksud dengan mempercantik diri adalah upaya untuk mempertahankan kecantikanku itu sebagai sebuah anugerah dari sang Maha Kuasa. Tetapi dalam hal ini aku tidak berlebih-lebihan dan memaksakan diri, wajar dan natural saja, aku tidak merasa perlu ke salon karena hal itu perlu ongkos yang kalau disedekahkan akan lebih berguna, atau buat beli jajan anak-anak saja, biar mereka lebih gembira, di samping itu di sana aku tidak merasa aman dari pandangan laki-laki asing, sekalipun salon tersebut katanya adalah salon khusus muslimah, tetapi siapa yang menjamin, aku teringat sebuah sabda Rasulullah saw yang intinya bahwa wanita manapun yang membuka pakaiannya bukan di rumah suaminya maka dia telah mencabik-cabik perlindungan Allah atas dirinya, naudzubillah, aku tidak mau hal itu menimpaku.

Aku merasa cukup dengan upayaku sendiri, caraku sendiri yang aku baca dari beberapa majalah wanita Islam atau tabloid, cara-cara alami dan natural dalam merawat kecantikan, misalnya dengan membuat masker dari buah-buahan: bengkoang, mentimun, alpukat dan buah-buah segar lainnya, aku melakukan itu secara berkala untuk untuk menjaga agar kulitku tetap segar, khususnya wajah agar tetap kencang dan menawan. Aku juga rajin membuat jus buah dan meminumnya, plus sayuran hijau yang kata ahli kesehatan bermanfaat bagi tubuh.

Bagiku menjaga kecantikan berarti menjaga kesehatan, mana bisa cantik kalau tidak sehat, ada satu rahasia yang ingin aku bagi kepada sesama Binti Hawa, aku berusaha menjaga kesehatan dengan selalu minum madu secara rutin, hampir tiada hari tanpa minum madu dan alhmadulillah aku tetap sehat, aku teringat sebuah ayat dalam al-Qur`an yang menyatakan bahwa madu adalah kesembuhan, dan aku pun teringat bahwa Rasulullah saw mengajak kaum muslimin untuk mencari kesembuhan pada madu, inilah yang memotivasiku untuk selalu minum madu.

Aku sadar bahwa cantik itu bersih, maka aku berusaha menjaga kebersihan tubuhku dengan mandi mininal pagi dan sore, memperhatikan daerah-daerah kotor dengan menggosoknya sebersih-bersihnya, kebersihan rambut aku jaga setiap dua atau tiga hari sekali, kebersihan mulut aku lakukan dengan berkumur pada saat berwudhu dan sebelum beranjak tidur sekaligus berwudhu dan sesudah bangun dari tidur dengan menggosok gigi. Kedua tangan dan kedua kakiku selalu aku cuci selesai melakukan atau memegang sesuatu, kuku-kuku keduanya tidak luput dari perhatianku, aku tidak suka merawat kuku tangan seperti yang dilakukan oleh sebagian kaumku sehingga ia panjang seperti kuku binatang buas, selain bisa menjadi sarang kuman juga bisa menghalangiku untuk melakukan beberapa aktifitas rumahku seperti mencuci dan lainnya, lebih dari semua itu bahwa yang demikian itu tidak sejalan dengan fitrah yang digariskan oleh Rasulullah saw.

Aku tahu bahwa cantik itu tidak sejalan dengan bau tubuh yang tidak sedap, untuk menjaga ini, selain aku mandi dengan benar secara rutin, aku juga membuang sarang bau tidak sedap pada tubuh, ketiak yang menjadi salah satu biang bau kurang sedap selalu menjadi perhatianku dengan membuang bulu yang tumbuh di sana, sebagai muslimah aku tahu Nabi saw menganjurkan hal itu, terkadang aku memakai satu dua semprotan pengharum badan selesai mandi dan aku yakin tidak akan keluar rumah, tetapi kalau aku yakin akan keluar rumah karena ada hajat untuk itu maka aku tidak memakainya, karena aku tahu agamaku melarangku sebagai wanita untuk meninggalkan rumahnya dalam keadaan tubuh berbau harum, aku tidak mau menjadi pemicu fitnah bagi kaum laki-laki.

Pakaian di rumah juga aku perhatikan, aku tidak boleh memakai baju yang kotor atau berbau apek, sekalipun koleksi baju rumahku tidak banyak, namun aku selalu menjaga agar bajuku tetap segar dan bersih, untuk urusan yang satu ini aku lebih cenderung kepada suami, maksudku pada saat membeli baju rumah, pendapat suamiku adalah nomor satu, jika dia bilang suka maka aku tersenyum mengiyakan, sebaliknya kalau dia tidak suka maka aku pun meninggalkannya, pada saat aku memakai sebuah baju, lalu suamiku memintaku untuk menggantinya dengan baju yang lain, maka aku akan menggantinya sekalipun ia masih bersih, toh tetap bisa dipakai ketika dia tidak rumah, aku tahu ada baju favorit bagi suamiku, dia paling suka kalau aku memakai baju tertentu, maka aku bersuaha sesering mungkin memakainya.

Aku juga tahu bahwa semua itu adalah kecantikan lahir, sekalipun penting namun tidak kalah dengannya adalah kecantikan sisi lain yaitu melalui akhlak mulia dan ilmu agama. Di mana cantiknya pada saat akhlak buruk menghiasi diri: ucapan dusta, ghibah, namimah, hasad, tamak dan akhlak buruk lainnya? Di mana cantiknya sebagai wanita muslimah kalau ternyata tidak mengerti perkara-perkara dasar dalam agamanya? Oleh karena itu aku selalu berusaha untuk menghiasi diri dengan akhlak dan budi pekerti mulia, plus upaya menambah ilmu agama melalu membaca, bertanya dan menghadiri majlis ilmu.

Satu hal yang ingin aku katakan kepada saudari-saudariku, bahwa aku melakukan semua itu adalah demi suamiku dan hanya untuk suamiku, ya cantikku memang hanya untukmu suamiku seorang, aku ingin tulus kepada suamiku, aku tidak ingin membagi sedikit pun dari kecantikanku kepada orang lain karena hal itu tidak patut, aku dan diriku hanya untuknya, maka demikian pula kecantikanku. Aku tidak ingin mengikuti sebagain wanita yang justru ingin terlihat cantik dengan berdandan habis manakala hendak keluar rumah untuk hajat ini dan itu, para wanita yang bersolek bukan untuk suaminya, aku melihat mereka adalah para istri yang tidak tulus kepada suami mereka, karena mereka telah membagi apa yang seharusnya menjadi hak murni suami kepada orang lain, kasihan suami mereka, tetapi bagaimana lagi, yang terjadi justru suami mereka memang mendiamkan atau mengizinkan. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)