Kamis, 27 Januari 2011

Adakah Gono-gini dalam Islam??

Oleh : Ustadz Muhajirin, Lc.


Bismillahirrahmaanirrahiim.

Al hamdulillah, washallallahu wasallama ‘ala Rasuulillahi Muhammadin Wa’alaa Alihi Washahbih.

Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu bahwa suami dan istri ketika menjalani kehidupan berumah tangga maka harta mereka tidak lepas dari tiga jenis kepemilikan.

Pertama : harta milik suami saja, maksudnya harta yang dimiliki oleh suami semata tanpa ada hak kepemilikan istri di dalamnya sedikit atau banyak, seperti, harta yang didapatkan oleh suami dari hasil kerja dan jerih payahnya selain dari apa yang telah dia nafkahkan kepada istri dan keluarganya. Atau harta yang dihibahkan oleh orang lain secara khusus kepada suami. Atau harta warisan yang diperoleh suami dari kerabatnya atau ahli warisnya yang meninggal, dsb.

Kedua : Harta milik istri saja, yaitu harta yang dimiliki istri semata tanpa ada kepemilikan suami di dalamnya sedikit atau banyak, misalnya; mahar, harta yang dimiliki oleh istri sebelum menikah atau seorang istri bekerja sehingga ia mendapatkan hasil dari kerja dan usahanya. Harta yang diwashiatkan oleh orang lain kepada istri saja, atau harta warisan yang ia dapatkan dari kerabatnya, atau washiat dsb.

Ketiga : harta bersama milik suami dan istri atau harta serikat antara mereka berdua, seperti harta yang dihibahkan kepada mereka berdua, atau harta dari hasil modal bersama yang kemudian mereka kembangkan, atau harta benda yang mereka beli bersama dari kantong masing-masing seperti rumah atau tanah, atau harta yang diwasiatkan kepada mereka berdua, dsb.

Harta yang pertama dan kedua adalah hak masing-masing suami dan istri untuk mempergunakan harta mereka sendiri, maka suami memiliki hak pribadi atas harta yang dia usahakan dan hasilkan selain dari harta yang harus dinafkahkan oleh suami terhadap istrinya sesuai dengan kadar wajib menurut standar syariat. Sebaliknya jika istri memiliki harta sendiri maka ia pun memilki hak pribadi untuk menggunakannya dan tidak boleh bagi suami untuk mengambil dan mempergunakannya kecuali atas izin sang istri, atau kecuali sang istri menshadaqahkan sebagian hartanya untuk suami.

Adapun di antara dalil yang menunjukkan bahwa islam menghargai hak milik pribadi adalah :

1. Keumuman firman Allah Ta’ala :

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ

“Bagi orang laki-laki adalah bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita adalah bagian dari apa yang mereka usahakan.” [QS An Nisa` : 32]

2. Hadits dalam Shahih Al Bukhari.

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ بِمِثْلِهِ سَوَاءً قَالَتْ كُنْتُ فِي الْمَسْجِدِ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ وَكَانَتْ زَيْنَبُ تُنْفِقُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ وَأَيْتَامٍ فِي حَجْرِهَا قَالَ فَقَالَتْ لِعَبْدِ اللَّهِ سَلْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَجْزِي عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَيْكَ وَعَلَى أَيْتَامٍ فِي حَجْرِي مِنْ الصَّدَقَةِ فَقَالَ سَلِي أَنْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْتُ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ عَلَى الْبَابِ حَاجَتُهَا مِثْلُ حَاجَتِي فَمَرَّ عَلَيْنَا بِلَالٌ فَقُلْنَا سَلْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَجْزِي عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَى زَوْجِي وَأَيْتَامٍ لِي فِي حَجْرِي وَقُلْنَا لَا تُخْبِرْ بِنَا فَدَخَلَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ مَنْ هُمَا قَالَ زَيْنَبُ قَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ قَالَ امْرَأَةُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ

Dari Amru bin Al Harits dari Zainab istri Abdullah (bin Mas’ud) berkata; “Saya berada di dalam masjid maka saya melihat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : Bersedekahlah (berzakatlah) wahai para wanita walau dari perhiasan kalian. Zainab adalah seorang wanita yang memberi nafkah suaminya Abdullah, dan anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaannya. Dia berkata kepada suaminya, ‘Tanyakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bolehkah aku berikan nafkah untukmu dan anak-anak yatim yang aku pelihara, aku jadikan sebagai shadaqah (zakat). Ibnu Mas’ud berkata : tanyakan sendiri kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Aku pun pergi menuju Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan aku dapatkan seorang wanita Anshar yang memiliki hajat sama denganku sedang menunggu di pintu, kemudian ada Bilal yang bertemu kami, kami berkata; “Tanyakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bolehkah saya memberi nafkah kepada suamiku dan anak-anak yatim yang aku pelihara, kami juga berkata, ‘jangan kasih tau beliau tentang kami.’ Lalu bilal Masuk dan menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau berkata, siapa mereka?, Bilal berkata : Zainab, Beliau bersabda, “Zainab yang mana?” Bilal menjawab : “Istri Abdullah.” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Iya, dia mendapatkan dua pahala, Pahala (menyambung) kerabat, dan pahala shadaqah.” [HR Al Bukhari, No 1466]

Kesimpulan dari hadits ini adalah; bahwa Zainab istri Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang kaya dan dia memiliki harta sendiri yang tidak dimiliki oleh Abdullah bin Mas’ud kecuali yang dia nafkahkan dan zakatkan kepadanya. Dan hal tersebut diketahui oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan diakui oleh beliau, artinya islam menghargai hak milik pribadi sebagaimana hadits di atas.

Adapun jenis harta ketiga, yakni harta yang dimiliki bersama oleh suami dan istri maka masing-masing memiliki hak untuk mempergunakannya menurut kesepakatan yang telah ditentukan, para ulama sering menyebut jenis harta semacam ini dengan harta Syarikat Lil Amlaak, yang masuk dalam katagori syarikat lil amlaak bil ikhtiyar yaitu harta serikat bersama yang bersumber dari kemauan dan pilihan masing-masing tanpa adanya akad, misalnya; dua orang bergabung untuk membeli rumah, atau dua orang dihibahkan atau diwasiatkan sesuatu kemudian mereka menerimanya. Maka dalam serikat semacam ini cara penggunaannya menurut kesepakatan kedua belah pihak [Al Fiqhu Al Islami Wa adillatuhu, oleh Dr Wahbah Zuhaili, Juz.5 Hal.523, dan lihat pula dalam Fiqih Sunnah oleh Sayyid Sabiq, Juz.3 Hal.55]

Dan pada jenis ketiga inilah harta yang digono gini, atau dibagi berdua antara suami dan istri apabila terjadi perceraian antara keduanya karena harta tersebut adalah harta serikat mereka berdua, dan inilah Manath (fakta) yang hendak dihukumi bagaimana pembagian harta milik bersama antara suami dan istri ketika mereka bercerai.

Tidak ada dalil syar’ie baik dari nash Al Qur`an maupun As Sunnah yang menetapkan pembagian harta goni gini secara pasti dengan ketentuan 50-50, Namun syareat menetapkan hukum pembagiannya bergantung pada kesepakatan antara suami dan isteri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha, kesepakatan inilah yang disebut dalam syariat sebagai As Shulhu (perdamaian).

Adapun dalil yang dijadikan dasar perdamaian suami istri adalah hadits berikut :

عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ اَلْمُزَنِيِّ عن أبيه عن جده أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: - اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ اَلْمُسْلِمِينَ, إِلَّا صُلْحاً حَرَّمَ حَلَالاً وَأَحَلَّ حَرَاماً، وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ, إِلَّا شَرْطاً حَرَّمَ حَلَالاً وَ أَحَلَّ حَرَاماً

Dari ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzanni dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin [bertindak] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan syarat yang menghalalkan yang haram.” [HR At Tirmidzi No 1352, Ibnu Majah, No. 2353, Abu Dawud, No 3596, hanyasaja dalam sunan Abu Dawud diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, hadits ini dishahihkan oleh Al Albani dalam shahih tirmidzinya]
Muhammad bin Isma’il As Shan’ani menjelaskan tentang hadits ini dan berkata :

قَدْ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الصُّلْحَ أَقْسَامًا، صُلْحُ الْمُسْلِمِ مَعَ الْكَافِرِ، وَالصُّلْحُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَالصُّلْحُ بَيْنَ الْفِئَةِ الْبَاغِيَةِ وَالْعَادِلَةِ وَالصُّلْحُ بَيْنَ الْمُتَقَاضِيَيْنِ وَالصُّلْحُ فِي الْجِرَاحِ كَالْعَفْوِ عَلَى مَالٍ وَالصُّلْحُ لِقَطْعِ الْخُصُومَةِ إذَا وَقَعَتْ فِي الْأَمْلَاكِ وَالْحُقُوقِ وَهَذَا الْقِسْمُ هُوَ الْمُرَادُ هُنَا وَهُوَ الَّذِي يَذْكُرُهُ الْفُقَهَاءُ فِي بَابِ الصُّلْحِ

“Para ulama telah membagi ash-shulhu (perdamaian) menjadi beberapa macam; perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami isteri, perdamaian antara kelompok yang bughat dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang bertahkim kepada qadhi (hakim), perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta kepada lawan sengketa jika terjadi pada harta milik bersama (amlaak) dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para fuqoha pada bab ash-shulhu (perdamaian).” [Subulus Salam Syarhu Bulughul Maram, Jilid 3 Hal 58]

Dan begitu pula yang dikatakan oleh Abu At Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al Azhim di dalam kitabnya Aunul Ma’bud Syarhu sunan Abi Dawud, Juz.9, Hal.373]

Oleh karena itu berdasarkan dalil hadits dari Amru bin Auf Al Muzanni di atas, bila terjadi perceraian antara suami dan istri kemudian hendak terjadi pembagian harta yang tergolong dalam katagori harta serikat lil`amlaak (harta kepemilikan bersama) maka pembagian tersebut dapat ditempuh dengan cara perdamaian (as shulhu) manakala terjadi sengketa. Karena dia termasuk bagian perdamaian antara suami dan istri.
Kemudian pembagian secara damai ini menurut kesepakatan masing-masing tanpa melanggar batasan-batasan syar’ie, boleh antara keduanya mengambil kesepakatan suami mendapat 50 % dan isteri 50 % , atau suami 60 % dan istri 40 %, atau sebaliknya istri 60 % dan suami 40 %, semua ditempuh berdasarkan keridhaan dan kerelaan masing-masing.

Kesimpulan

1.Ketika terjadi perceraian antara suami dan istri maka tidak ada pembagian harta gono gini dalam islam kecuali yang tergolong dalam harta syarikat lil`amlaak (Harta milik bersama dari hasil bersama) sebagaimana yang telah dijelaskan pengertiaannya di atas

2.Pembagian harta syarikat lil Amlaak (harta milik bersama) antara suami dan istri ketika terjadi perceraian tidak harus fifty-fifty (50-50) akan dengan cara as shulhu (perdamaian) antara para pemilik sesuai dengan kerelaan masing-masing.


Wallahu A'lam

1 komentar:

Leave Your Comment Here....