Minggu, 21 Maret 2010

Hukum Bunuh Diri Demi Rahasia

‘Abdu al-‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’
Alih Bahasa:
Ahmad Uzziy
Publikasi:
Maktab The Gunner’s

Orang-orang yang beragama dan berakal sehat mengetahui, bahwa tangan-tangan durjana ini tidak bisa ditolak kecuali dengan jalan jihad fi sabilillah, baik jihad fisik dengan kedua jenisnya yaitu jihad defensif dan ofensif, maupun jihad spiritual yang bentuknya bermacam-macam sesuai dengan beragamnya sarana mereka dalam merusak dan mentelantarkan kita dan agama kita.
Allah Ta’ala berfirman :
“ Mereka berperang di jalan Allah, maka mereka membunuh dan terbunuh…”
Hasilnya, ada yang menawan dan adapula yang tertawan, di kedua belah pihak. Membunuh atau dibunuh, melukai atau dilukai, menghancurkan atau dihancurkan. Yang saya rasakan sangat penting di sini adalah pihak muslim yang tertawan, si pembawa rahasia kaum mulsimin yang mengalami penyiksaan dan interogasi di luar batas kemanusiaan..sehingga ia tidak mampu bertahan kecuali bila ia membocorkan rahasia kaum muslimin kepada musuh-musuh durjana tersebut. Saat hal itu terjadi, musibah besar pun terjadi, kehormatan wilayah Islam dan umat Islam dinodai dengan cara-cara keji kekejaman tangan-tangan durjana tersebut yang sudah tergambar di benak.

Dari sini muncul sebuah masalah pelik yang sangat mendesak. Mendesak karena timbul dari realita pedih umat Islam, juga dari besarnya kehormatan darah seorang muslim. Namun juga pelik karena dalam mengkajinya harus memperhatikan ketentuan syariat, dan menjauhkan diri dari berbicara tanpa landasan ilmu. Karena itu, di awal pembahasan ini saya katakan ( Ini adalah sebuah kajian tentang sebuah masalah yang sangat mendesak). Di sini saya tidak memastikan sebuah pendapat tuntas yang tidak boleh ada perbedaan pendapat lagi setelah nampak dalil-dalil lain, nampak jelas penunjukkan dalil-dalil tersebut dan tahqiq manathnya. Kajian ini tidak lain hanyalah sebuah usaha untuk menelaah pendapat para ulama dalam masalah ini. Pembahasan ini hanyalah sebuah kajian dengan sebuah kesimpulan yang hati saya tentram karenanya, maka saya memilihnya. Saya tidak memaksakan kesimpulan ini untuk diterima oleh orang lain. Maka, apa yang benar dalam kajian ini semata-mata bersal dari Allah Ta’ala. Dan apabila ada kesalahan, maka itu smeua dari saya pribadi dan dari setan. Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam berlepas diri darinya. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan, dan kepada-Nya kita bersandar.
Adapun masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
Bolehkah seorang muslim melakukan tindakan bunuh diri ketika ia tertawan musuh dan ia takut akan membocorkan rahasia-rahasia kaum muslimin diakibatkan oleh ketidak mampuannya dalam menangung kejamnya interogasi musuh, sementara membocorkan rahasia kaum muslimin tersebut akan mengakibatkan kehancuran umat Islam ???.
Sebenarnya, masalah ini termasuk masalah baru dalam kancah perjuangan umat Islam, mungkin termasuk dalam kategori fiqhu nawazil (persoalan aktual, berkembang sebagai produk perkembangan zaman), karena saya belum menemukan pendapat membolehkan atau mengharamkan dari perkataan para ulama terdahulu. Meski demikian sudah ada banyak masalah fikih yang dibahas oleh para ulama terdahulu, yang dalam banyak hal menyerupai kasus masalah kita ini. Dengan demikian, dalam perkataan para ulama terdahulu sudah ada yang mengisyaratkan kepada masalah yang sedang kita hadapi ini meski hanya secara tersurat.
Hukum Orang yang Berpendapat dengan Sebuah Pendapat yang Belum Pernah Dikatakan Sebelumnya oleh Para Ulama terdahulu
Tidak adanya ulama terdahulu yang pernah mengeluarkan pendapatnya dalam masalah  yang kta hadapi ini, tidak menghalangi seseorang untuk membahas masalah ini dengan mengerahkan segenap kemampuannya, sampai sekalipun pendapat yang ia simpulkan tersebut belum pernah dinyatakan oleh seorang ulama terdahulu sekalipun.  Ini jika kesimpulan yang ia ambil tersebut dibangun di atas dalil syar’I dan proses pengambilan hukum yang baik.
Memang bersendirian dengan sebuah pendapat dalam sebuah masalah mengakibatkan kesepian, namun kebenaran dan kewajiban menampakkan kebenaran akan menghilangkan rasa kesepian ini. Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata dalam I’laamu al-Muwaqi’in di bawah judul [masalah : Kapan Orang yang Menuntut (Penuduh) disumpah ?] :
“ Janganlah engkau merasa kesepian dari orang yang dirinya sendiri dan seluruh ulama lain menyatakan bahwa dirinya bukanlah seorang ulama. Jika anda mendapati seorang ulama, yang mengikuti dalil, menguasai pengambilan hukum dari dalil, mengikuti kebenaran di mana saja, bagaimanapun kondisinya dan bersama siapa saja kebenaran itu, maka anda tidak akan merasa kesepian lagi, anda akan merasa mendapat kawan sekalipun ia tidak sependapat dengan anda. Sesungguhnya ia tidak sependapat dengan anda namun ia memahami anda.  Sebaliknya seorang yang bodoh dan dzalim akan menyelisihi anda tanpa landasan dalil dan bahkan berani mengkafirkan anda, atau menyatakan anda ahli bid’ah  tanpa sebuah hujah. Kesalahan anda hanya karena anda tidak mengikuti jalannya yang rusak dan akhlaknya yang tercela tersebut. Maka janganlah anda tertipu oleh orang-orang semacam ini. Karena ribuan orang seperti mereka lebih rendah nilainya dari seorang ulama, sebaliknya seorang ulama menyamai sepenuh bumi orang-orang seperti mereka.”
Dalam kesempatan ini, saya katakan bahwa para ulama salaf tidak harus membayangkan seluruh masalah yang mungkin akan timbul atau ditemui, baik pada masa mereka atau masa sesudah mereka, supaya mereka menetapkan hukum syar’I tentang masalah-masalah tersebut berdasar al-Qur’an dan al-sunah. Ketika syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendirian dalam pendapat beliau tentang gugurnya syarat harus suci saat thawaf bagi perempuan haidh yang ditahan oleh orang-orang (mahram) yang bersamanya, beliau mengatakan dalam Majmu’ Fatawa juz 26 halaman 239-241 :
(Pendapat yang saya sebutkan ini adalah sesuai dengan dasar-dasar (dalil-dalil syar’I) yang secara umum membahas bentuk kejadian seperti ini, baik secara lafal (tegas) dan makna, juga selaras dengan qiyas terhadap kejadian-jeadian semisal yang mirip atau bertentanagn dengannya. Dalam pendapat para ulama panutan memang tidak ditemukan pendapat mengenai kasus ini, maupun kasus bila seorang perempuan terpaksa harus thawaf dalam keadaan telanjang. Penyebabnya, kejadian yang di zaman mereka tidak dan belum terjadi, memang tidak harus mereka bayangkan agar mereka berbicara mengenai masalah itu.
Terjadinya kasus pertama dan kedua ini, memang belum pernah terjadi pada masa mereka atau sangat jarang terjadi. Pendapat mereka dalam bab seperti ini sangat umum, sehingga kesimpulan hukumnya juga umum kalau kasus-kasus khusus yang berbeda sifatnya ini tidak dihukumi secara khusus pula. Padahal kasus khusus ini   belum pernah dibayangkan oleh ulama yang berbicara dengan lafal yang umum tersebut, dikarenakan memang belum pernah terjadi pada masa mereka. Sementara orang-orang yang taklid kepada mereka hanya mengatakan apa yang mereka temui dari perkataan para ulama panutan tersebut).
Sampai kepada perkataan beliau :
( Inilah yang lebih tepat menurut saya dalam masalah ini. Wa laa haula wa laa quwwata illa billah al-‘aliyyi al-‘adzim. Seandainya bukan karena kebutuhan mendesak masyarakat terhadap ilmu dan amal dalam kasus ini, tentulah saya tidak perlu bersusah payah membahas masalah yang belum saya dapati pendapat para ulama terdahulu ini. Sesungguhnya berijtihad dalam kondisi darurat adalah sebuah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada kita. Jika pendapat yang saya simpulkan ini benar, maka itulah hukum Allah dan Rasul-Nya, walhamdu lillah. Jika pendapat saya tersebut salah, maka itu dari saya sendiri dan dari setan. Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya. Sekalipun orang yang salah berijtihad itu dimaafkan. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam. Walhamdu lillah. Wa shallallahu ‘ala muhammad wa aalihi wa sallama tasliman ).
Dari sini semakin jelas bagi kita, kebenaran tidak diukur dari banyaknya orang yang menempyuhnya :
“ dan tidaklah kebanyakan manusia itu beriman, sekalipun engkau sangat menginginkan hal itu).
Kebenaran adalah jangan engkau berpendapat tanpa landasan sebuah dalil shahih yang sharih, tidak ada syarat sebelumnya harus ada ulama lain yang memegangi pendapat yang engkau yakini tersebut. Jika ditemukan sebelumnya ada ulama terdahulu yang  udah berpendapat dengan pendapat tersebut, maka pendapat ulama terdahulu tersebut semakin menguatkan pendapat tersebut. Dengan demikian hati lebih tenang, dan jauh dari kesepian syudzudz (menyimang dari pendapat para ulama yang lebih tsiqah). Maka orang tersebut tidak perlu takut dengan kritikan pedas orang-orang yang mengkritik tanpa landasan kebenaran, sebagaimana telah disebutkan oleh imam Ibnu Qayyim didepan. Hendaknya orang yang mengikuti dalil dalam sebuah masalah sekalipun masalah itu belum pernah disebutkan oleh para ulama terdahulu..hendaknya ia mengetahui bahwa ia tidak termasuk menyelisihi al-jama’ah, karena al-jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran sekalipun seorang diri.


al-jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran sekalipun seorang diri.

Hal 57

Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh imam Ibnu al-Qayyim dalam I’lamu al-Muwaqqi’in ketika mengomentari seorang laki-laki yang mengaku bahwa ialah orang yang memperkosa, setelah ia melihat orang lain akan dihukum had karena dituduh sebagai pemerkosa. Beliau mengatakan,” Adapun gugurnya hukuman hudud atas orang yang mengakui perbuatannya, jika tidak berada dalam kemampuan (bukan menjadi hak) amiru al-mukminin Umar bin Khathab, maka tentunya lebih tidak berada dalam kemampuan para fukaha’. Namun pasti menjadi kemampuan al-Rauf al-Rahim. Sesungguhnya orang ini telah bertaubat kepada Allah, maka Allah Ta’ala enggan untuk menghukumnya dengan hudud. Tidak diragukan lagi, kebaikan dari pengakuan si pemerkosa secara sukarela, atas pilihan sendiri, didorong oleh rasa takut kepada Allah semata, demi menyelamatkan nyawa seorang muslim (si tertuduh) dan mengutamakan kehidupan saudara seislam daripada kehidupannya sendiri, sehingga ia menyerah untuk dihukum qishash, (kebaikan) semua ini jelas lebih besar dari kesalahan yang ia lakukan.”
Yang menjadi bukti atas pendapat kita adalah perkataan beliau “demi menyelamatkan nyawa seorang muslim (si tertuduh) dan mengutamakan kehidupan saudara seislam daripada kehidupannya sendiri, sehingga ia menyerah untuk dihukum qishash, (kebaikan) semua ini jelas lebih besar dari kesalahan yang ia lakukan
Asal kisah ini disebutkan dalam sunan al-Nasa’i. Imam Ibnu al-Qayyim dalam I’lamu al-Muwaqqi’in mengatakan,” Kami telah meriwayatkan dalam sunan al-Nasa’I dari hadits al-Samak dari ‘Alqamah bin Wail dari bapaknya ia mengatakan ; Seorang wanita yang sedang pergi ke masjid pada gelapnya pagi (sebelum shubuh) diperkosa secara paksa. Wanita itu berteriak meminta tolong kepada seorang laki-laki yang kebetulan lewat, maka si pemerkosa melarikan diri. Banyak orang kemudian datang ke tempat itu, dan perempuan itu berteriak meminta tolong kepada mereka. Mereka berhasil menangkap laki-laki pertama yang dimintai tolong oleh wanita itu, sementara si pemerkosa sebenarnya berhasil kabur. Mereka membawa laki-laki yang malang itu ke hadapan wanita itu, maka laki-laki malang itu membantah,” Saya yang menolong anda, si pemerkosa telah kabur.” Mereka membawa laki-laki malang itu ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, dan wanita itu memberitahukan kepada Nabi bahwa benar laki-laki itulah yang telah memperkosanya, dan orang-orang tersebutlah yang berhasil menangkapnya. Laki-laki malang itu membantah,” Tidak, sayalah yang telah menolongnya, tapi mereka mendapati saya maka mereka menangkap saya.” Wanita itu menjawab,” Bohong. Dia yang telah memperkosa saya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada masyarakat,” Kalau begitu, bawa laki-laki ini dan rajamlah ia !” Tiba-tiba seorang laki-laki menyela,” Jangan kalian rajam ia, tapi rajamlah saya. Sayalah yang telah melakukan perbuatan itu.” Laki-laki itu mengakui perbuatannya. Maka tiga orang berkumpul di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, yaitu laki-laki yang memperkosa, laki-laki malang yang menolong, dan wanita korban pemerkosaan. Kepada laki-laki yang memperkosa, beliau bersabda,” Engkau, telah diampuni.” Kepada orang yang menolong, beliau memuji tindakannya. Maka Umar berkata,” Saya akan merajam yang mengaku telah memperkosa.” Maka Rasulullah menolak dan bersabda,” Ia telah bertaubat kepada Allah Ta’ala.”
Kedua Belas : Sudah sama diketahui bahwa jumhur ulama[1] telah bersepakat atas kebolehan, bahkan, wajibnya memerangi musuh jika tindakan tidak memerangi musuh membawa bahaya atas umat Islam. Ya, sekalipun tindakan memerangi musuh itu akan menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin yang dijadikan tameng oleh musuh. Kita berpendapat, sudah sama diketahui pula bahwa dosa seorang muslim yang membunuh saudara muslim lainnya adalah lebih besar dari seorang muslim membunuh dirinya sendiri. Sebagaimana telah disebutkan oleh Syaikhul Islam IbnuTaimiyah dalam Majmu’ al-fatawa, imam Ibnu Hajar dalam Fathu al-Baari dan para ulama lainnya. Alasannya, membunuh saudara muslim itu mengandung dua hak, yaitu hak Allah dan hak muslim, sementara bunuh diri hanya mengandung satu hak yaitu hak Allah ta’ala. Jika sebagian umat Islam (mujahidin) membunuh umat Islam lain yang dijadikan tameng oleh musuh, dengan tujuan meraih maslahat dien dan menegakkan kalimat Allah Ta’ala hukumnya diperbolehkan, maka mestinya lebih diperbolehkan lahi seorang muslim membunuh dirinya sendiri demi menegakkan kalimat Allah dan menjaga agar umat Islam lainnya tidak dibunuh, dinodai kehormatan dan dikuasai wilayahnya. Karena kita tidak mungkin mengatakan maslahat tetap hidupnya seorang muslim didahulukan atas maslahat tetap hidupnya ratusan umat Islam. Kita juga tidak mungkin mengatakan menolak bahaya matinya seorang muslim, dengan mengorbankan nyawa ratusam muslim lainnya. Islam tidak mengajarkan demikian itu, bahkan Islam datang dengan kaedah-kaedah umum yang memerintahkan kepada kita untuk mengutamakan menolak bahaya daripada meraih keuntungan (dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih). Apabila muncul dua bahaya, maka bahaya yang lebih besar dijauhi dan bahaya yang lebih kecil dihadapi (irtikabu akhaffu al-dhararain). Kaedah ini terwujud dalam kasus mengutamakan tetap hidupnya ratusan umat Islam dengan bunuh dirinya seorang muslim yang tertawan.

وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَى

“ dan aku bersegera kepada-Mu, ya Rabbi, supaya Engkau ridha kepadaku.” [QS. Thaaha :84].
Meninggalkan maslahat tetap hidupnya seorang muslim yang tertawan harus didahulukan atas timbulnya bahaya terbunuhnya ratusan umat Islam dan terampasnya wilayah mereka, sebagaimana secara tersirat diungkapkan oleh fadzilatu al-syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah.[2]
Ketiga Belas : Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah telah ditanya tentang kasus yang dialami para mujahidin Aljazair yang ditawan oleh tentara penjajah Perancis. Mereka diinterogasi dan mengalami penyiksaan biadab sampai mereka mau mengaku dan menunjukkan rahasia dan tempat-tempat persembunyian umat Islam. Bolehkan mereka melakukan tindakan bunuh diri agar mereka tidak membocorkan rahasia perjuangan umat Islam ?
Beliau rahimahullah menjawab :
“ Tentara Perancis sedang bertempur dengan sengit dalam beberapa tahun ini. Mereka menggunakan injeksi jika menawan seorang pejuang Aljazair, agar ia mau memberitahukan kondisi amunisi dan logistik mujahidin Aljazair. Terkadang yang tertawan adalah para pimpinan mujahidin, dan akibat beratnta tekanan interogator, mereka memberitahukan bahwa di tempat ini dan itu ada si fulan dan si fulan. Suntikan ini menyebabkan mereka setengah tidak sadar, dan pembicaraannya bercampur baur, alat ini memilah pembicaraannya yang benar dan sejujurnya.
Orang-orang muslim Aljazair datang kepada kami dan menanyakan bolehkah seorang (muslim yang tertawan) melakukan tindakan bunuh diri karena takut diinterogasi dengan alat tersebut. Ia mengatakan saya mati dan saya syahid —-mereka menyiksanya dengan berbagai macam siksaan biadab—. Maka kami (syaikh) katakan kepada mereka ; kalau kondisinya memang demikian itu, maka boleh, dan dalilnya (Kami beriman kepada Rabbnya Ghulam (anak muda)…juga perkataan para ulama : sesungguhnya perahu….” Namun dalam kasus ini masih ada sikap tawaquf (tidak mengiyakan atau menolak) dalam hal mana yang lebih besar bahayanya : bunuh diri atau menyebarkan rahasia umat Islam. Untuk menentukannya, dipakai kaedah kebiasaan yang sudah umum di tempat terjadinya kasus ini (al-‘adatu muhakkamatun). Yang pasti (baik membocorkan rahasia atau tidak), tawanan tersebut pasti akan dibunuh juga.”(persetujuan).[3]
[Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim 6/207-208, cetakan 1, 1399 H, al-Mathabi’ al-Hukumiyah, Kitabu al-Jihad].
Dalam pandangan saya yang terbatas ini, fatwa syaikh Muhammad bin Ibrahim ini telah mematahkan orang-orang yang bertanya dan membantah,” Siapa ulama sebelummu yang telah berpendapat seperti pendapatmu ini (bolehnya bunuh diri demi menjaga rahasia) ? Karena itu, setelah beberapa waktu terakhir ini saya mendapatkan fatwa beliau ini, saya rasa tidak berlebihan apabila saya mengatakan : terkadang bunuh diri bagi seorang tawanan yang kondisinya seperti itu, hukumnya wajib, demi menjaga darah dan kehormatan umat Islam. Saya tidak akan mengatakan demikian[4] kalau saya tidak melihat fatwa syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah ini, supaya saya tidak terjatuh dalam syudzudz (kesendirian dalam berpendapat, sehingga menyelisihi pendapat para ulama lain yang lebih tsiqah). Namun kini, al-hamdu lillah, syudzudz telah hilang, terlebih lagi dalil-dalil yang telah saya sampaikan di depan minimal disimpulkan bahwa hukum kasus ini adalah boleh. Maka fatwa syaikh Muhammad bin Ibrahim ini sungguh telah menggunting kritikan para pengkritik.
Keempat belas : Fatwa syaikh hasan Ayyub dalam buku beliau Al-Jihad wa al-Fidaiyah fi al-Islam halaman 247-248 yang memperbolehkan kasus seperti ini. Beliau menulis,” Bunuh diri jika dilakukan berdasar alasan yang kokoh dan kuat yang berkaitan dengan sebuah urusan yang menyangkut dan membawa manfaat bagi umat Islam, dan bila tidak dilakukan tindakan bunuh diri justru akan menimbulkan bahaya bagi umat Islam, maka jelas bunuh diri dalam kondisi seperti ini hukumnya boleh. Seperti bila seseorang disiksa agar mau membocorkan rahasia yang berkaitan dengan posisi para pejuang umat Islam, nama-nama mereka, atau memberitahukan langkah-langkah pejuang Islam, atau tempat-tempat amunisi, persenjataan, dan informasi-informasi penting lain yang membahayakan pasukan Islam, personal pasukan Islam, keluarga dan masyarakat Islam. Jika menurut perhitungannya ia tidak akan mampu bertahan atas beratnya penyiksaan, dan ia terpaksa membocorkan rahasia-rahasia tersebut, atau ia mengetahui musuh akan memasukkan ke tubuhnya zat-zat tertentu yang mempengaruhi urat syaraf sehingga mengakibatkan secara otomatis ia membocorkan rahasia dalam keadaan setengah tidak sadar, tanpa menyadari apa yang ia ucapkan, (maka boleh ia melakukan tindakan bunuh diri). Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ulama tentang seseorang yang menyerbu barisan musuh sendirian, padahal ia mengetahu ia pasti akan terbunuh, namun menurut perhitungannya bila ia terbunuh akan membawa kebaikan bagi Islam dan kaum muslimin. Kondisi kita ini lebih penting dan lebih berbahaya (dari kasus menyerang musuh sendirian).”
Kelima Belas : Seluruh fatwa berdasar dalil-dalil syar’i yang disebutkan oleh para ulama mutaakhirin seperti syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullah, syaikh al-Albani rahimahullah, syaikh Hamud bin ‘Uqla al-Syu’aibi waffaqahullahu wa matta’ana bihi rahimahullah dan syaikh Sulaiman bin Nashir al-‘Ulwan hafidzahullah. Juga fatwa para ulama Yordania, para ulama al-Azhar, para ulama Mesir, dan para ulama negeri-negeri Muslim lainnya yang memperbolehkan meledakkan dirinya sendiri demi menimbulkan kerugian besar di pihak musuh (al-‘amaliyat al-istisyhadiyah). Fatwa-fatwa ini, sejatinya adalah fatwa yang dengannya saya berpendapat seseorang boleh melakukan tindakan bunuh diri jika ia takut akan membocorkan rahasia umat Islam selama menjalani beratnya penyiksaan, karena menimbulkan kerugian di pihak musuh dalam kasus inipun bisa terealisasi, demikian juga dalam tujuan menegakkan dien dan menolong kaum muslimin. Antara kedua kasus ini tidak ada bedanya. Bahkan dalil-dalil para ulama terdahulu tentang bolehnya seseorang sendirian menyerbu barisan musuh demi menimbulkan kerugian di pihak musuh, sekalipun menurut perhitungannya ia akan terbunuh, juga merupakan dalil-dalil atas kasus kita ini, antara kedua kasus ini tidak ada perbedaan, selain kasus pertama ia terbunuh lewat tangan musuh, sementara kasus kita terbunuh lewat tangan sendiri. Namun perbedaan ini tidak mempunyai pengaruh, karena orang yang membantu atau menjadi sebab atas terbunuhnya dirinya sendiri, hukumnya seperti orang yang langsung membunuh dirinya sendiri. Masalah ini sudah disepakati oleh para ulama.
Keenam Belas : Ulama yang memfatwakan bolehnya dan bahkan keutamaan al-‘amaliyat al-istisyhadiyah, terkena konskuensi wajib memperbolehkan dan bahkan menyatakan keutamaan bunuh diri demi menyelamatkan umat Islam, karena ia takut membocorkan rahasia mereka. Alasannya jelas, menjaga nyawa umat Islam jauh lebih penting dari membunuh beberapa orang kafir dalam al-‘amaliyat al-istisyhadiyah, yang terkadang tidak membunuh seorang kafirpun dan hanya mengakibatkan kerusakan pada sebagian bangunan dan menimbulkan ketakutan di pihak musuh. Karena itu disebutkan dalam Badai’u al-Shanai’,” Menebus tawanan (muslim) dengan tawanan (kafir) menurut imam Abu Hanifah rahimahullah tidak diperbolehkan, namun menurut imam  Abu Yusuf dan Muhammad diperbolehkan. Alasannya, menebus tawanan berarti menyelamatkan seorang muslim, dan itu lebih penting dari sekedar membunuh seorang kafir.”
Yang menjadi penguat adalah perkataan para ulama yang telah disepakati (berarti menyelamatkan seorang muslim, dan itu lebih penting dari sekedar membunuh seorang kafir). Ini disepakati oleh orang-orang Islam yang berakal sehat dan berhati nurani bersih. Jika ada yang membantah, orang yang memfatwakan kebolehan ajaran al-‘amaliyat al-istisyhadiyah tidak mesti menyatakan kebolehan bunuh diri demi menjaga rahasia, maka kami katakan kepadanya,” Terangkan kepada kami perbedaan antara kedua kasus ini !” Karena membedakan dua hal yang serupa tanpa adanya sebuah dalil merupakan sebuah “masalah” yang paling sulit.
Ketujuh Belas : Para ulama menegaskan bahwa seseorang yang pasti akan mati dengan salah satu dari dua cara yang sama-sama buruknya, ia boleh memilih salah satu dari keduanya. Seperti seseorang yang berada di atas kapal yang terbakar, sementara ia tidak pandai berenang, atau di laut banyak ikan buas. Ia boleh memilih antara mati terbakar atau mati tenggelam. Jika menurut perhitungannya salah satu cara lebih ringan dari cara yang lain, maka ia harus memilih cara yang lebih ringan, demikian ditegaskan oleh para ulama dalam al-Bahru al-Raiq, Badai’u al-Shanai’ dan buku-buku fikih lainnya. Dalam al-Bahru al-Raiq disebutkan,” Jika kaum muslimin berada di atas kapal yang terbakar, jika menurut perhitungan kuat mereka bisa selamat bila menceburkan diri ke laut dan berenang ke pantai, maka mereka harus menceburkan diri ke laut agar terlepas dari kebinasaan yang sudah pasti. Namun apabila kedua kondisi sama saja hasilnya, jika mereka bertahan di kapal akan mati terbakar, dan jika mereka menceburkan diri ke laut akan tenggelam, maka menurut imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf mereka boleh memlih karena kedua kondisi tersebut sama hasilnya, sedang menurut imam Muhammad bin al-Hasan tidak boleh menceburkan diri ke laut karena kematian mereka berarti disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri.”
Kondisi ini merupakan masalah kita dalam kebanyakan keadaan, di mana seorang tawanan perang yang membawa rahasia pasti akan terbunuh, baik ia membocorkan rahasia maupun tidak, jarang sekali yang tidak dibunuh. Dalam kondisi ini, menurut para fuqaha’ ia boleh memilih salah satu sebab dari dua sebab kematiannya. Lantas, bagaimana pendapat anda bila ia memilih salah satu cara yang membawa masalahat bagi Islam dan kaum muslimin ???
Kedelapan belas : Di antara dalil yang memperbolehkan dan bahkan menyatakan keutamaan kasus kita ini, bahwa pelakunya berhak menyandang gelar al-syahid dengan masyiah Allah, adalah kenyataan bahwa tidak ada pengaruhnya bagaimana cara ia terbunuh dan lewat tangan siapa ia terbunuh. Karena itu, kita tidak bisa mengatakan orang yang bunuh diri demi mengamankan rahasia tidak termasuk orang yang mati syahid, hanya karena ialah yang secara langsung membunuh dirinya sendiri atau ia terbunuh tidak di kancah peperangan. Karena itu, setelah ini saya akan menyebutkan pembahasan orang yang mati syahid dan definsinya, sehingga saya bisa menjelaskan bahwa orang yang membunuh dirinya sendiri dalam kondisi seperti ini termasuk orang yang mati syahid. Setelah itu saya akan menjelaskan bahwa siapa tangan yang membunuh, tidak membawa pengaruh hukum dalam masalah mati syahid fi sabilillah karena syariat tidak membatasi orang yang mati syahid hanyalah orang yang mati dalam kancah  peperangan lewat tangan musuh semata, kalau tidak maka ia tidak mati syahid.


Orang yang Mati Syahid dan Definsinya

Definisi al-syahid (orang yang mati syahid) secara bahasa :
Dalam Lisanu al-‘Arab karangan imam Ibnu Mandhur disebutkan,” Al-syahid adalah orang yang terbunuh di jalan Allah, pluralnya adalah syuhda’…isimnya adalah al-syahadah. Al-syahid adalah al-hayyu (yang tetap hidup). Dari Nadhr bin Syamil tentang tafsir al-syahid, adalah yang mati syahid, al-hayyu, maksudnya yang tetap hidup di sisi Rabbnya. “ beliau lalu menyebutkan kenapa al-syahid disebut dengan istilah ini. Apa yang disebutkan oleh imam Ibnu Hajar dan al-Nawawi sudah mencukupi dari apa yang disebutkan oleh imam Ibnu Mandhur ini.
Pengarang Taaju al-‘Arus mengatakan,” Al-Syahid –imam al-Laits mengatakan,” Lafal ini merupakan kosakata dengan bahasa Bani Tamim…al-syahid adalah al-hadhir (orang yang hadir), dengan wazan fa’iil, sebuah bentuk mubalaghah dari faa’il. …al-syahid menurut syariat adalah orang yang terbunuh fi sabilillah.”
Dalam al-qamus al-fiqhi,” al-syahid adalah orang yang bersaksi, juga bermakna menyaksikan dan orang yang terbunuh di jalan Allah. Pluralnya adalah al-syuhada’ dan asyhad. Dikatakan al-syahid, maka maknanya adalah al-hadhir (orang yang hadir), pluralnya adalah syuhud dan asyhad, juga bermakna orang yang memberikan persaksiaan.
Definisi al-syahid (orang yang mati syahid) secara syariat :
  • Menurut para ulama madzhab al-Hanafi :
-          Pengarang Hasyiyah Ibnu ‘Abidin mengatakan : Yaitu orang yang dbunuh oleh orang-orang musyrik, atau ditemukan terbunuh dalam kancah pertempuran sementara dalam dirinya ada luka yang nampak maupun tidak seperti keluarnya darah dari mata dan lainnya.
-          Dalam kitab Tabyinu al-Haqaiq karangan imam al-Zaila’i, mereka mengatakan : Setiap orang yang terbunuh dalam perang melawan ahlu harbi (orang-orang kafir), atau bughat (pemberontak muslim), atau qutha’u al-thariq (perampok muslim) dalam artian ia terbunuh oleh tindakan mereka (musuh) maka ia seorang al-syahid, baik tindakan langsung mereka atau tindakan tidak langsung (menjadi sebab/lantaran). Adapun setiap orang yang terbunuh tidak tindakan musuh, maka ia tidak bisa disebut al-syahid.
-          Dalam kitab al-Bahru al-Raiq, mereka mengatakan : Seseorang yang mengejar musuh dan menebaskan pedangnya namun meleset dan mengenai dirinya sendiri sampai ia mati, maka ia dimandikan, karena ia tidak mati karena tindakan musuh, namun ia dianggap al-syahid dalam hal mendapat pahala di akhirat karena ia bermaksud membunuh musuh, bukan membunuh dirinya sendiri. Mati syahid disebutkan secara umum, mencakup terbunuh secara langsung maupun tidak langsung (menjadi sebab), selama ia mati karena tindakan musuh. Karena itu, apabila kendaraan musuh menginjak seorang muslim, atau kendaraan seorang muslim melemparkan dirinya dari atas pelana, atau musuh melemparinya dari atas benteng, atau musuh menimpakan runtuhan tembok kepadanya, atau musuh memanah api kapal umat Islam sehingga terbakar, atau sebab-sebab yang semisal, maka ia dianggap mati syahid. Jika seekor kendaraan (kuda, onta) orang musyrik lepas dan tidak dikendarai oleh seorangpun sehingga menginjak seorang muslim, atau seorang muslim menembak orang kafir namun malah mengenai seorang muslim, atau orang-orang Islam melarikan diri dari barisan orang-orang kafir lalu orang-orang kafir menggiring mereka ke parit, api atau bahaya lain atau memenuhi jalan dengan duri yang dilalui oleh seorang muslim sehingga mengakibatkan kematian si muslim, maka ia tidak dianggap mati syahid. Hanya imam Abu Yusuf (dari kalangan ulama Hanafiyah) yang menyatakan hal itu mati syahid. (Kami berpendapat) ia (orang yang menebas musuh namun mengenai dirinya sendiri hingga mati) tidak mati syahid karena ia mati karena tindakannya sendiri, bukan karena tindakan musuh. Demikian juga dengan kendaraan yang tidak dinaiki penunggang. Adapun peletakkan duri di jalan, tidak dianggap sebagai sebab tidak langsung kematian, karena apa yang ditujukan untuk membunuh dianggap sebagai sebab tidak langsung pembunuhan, sementara yang tidak ditujukan untuk membunuh tidak dianggap sebagai sebab tidak langsung pembunuhan. Jelas, orang-orang kafir menaruh duri dengan tujuan menghalangi gerakan pelarian si muslim, bukan untuk membunuhnya.
  • Menurut para ulama madzhab al-Maliki. Imam al-dardiri dalam al-Syarhu al-Kabir mengatakan,” Al-syahid hanyalah orang yang terbunuh dalam perang melawan orang-orang kafir harbi, sekalipun ia terbunuh di negeri Islam dikarenakan orang-orang kafir harbi menyerbu umat Islam, atau ia tidak ikut berperang karena sedang lengah, tertidur atau dibunuh oleh muslim yang lain karena dikira orang kafir, atau ia terlempar dari kendaraannya, pedang atau panahnya mengenai dirinya sendiri, atau jatuh ke dalam sumur atau jatuh ke dalam jurang.
  • Menurut para ulama madzhab al-Syafi’i. Imam Ibnu Hajar mengatakan al-syahid adalah orang yang terbunuh dalam perang melawan orang-orang kafir, dalam keadaan ia maju menyerbu, tidak melarikan diri dan ikhlas. Dalam Mughni al-Muhtaj juga dikatakan, al-syahid adalah orang yang terbunuh dalam perang melawan orang-orang kafir dalam keadaan maju, tidak melarikan diri, demi menegakkan kalimat Allah Ta’ala, bukan karena tujuan duniawi.
  • Menurut para ulama madzhab al-Hambali. Pengarang Kasyafu al-Qanna’ mengatakan, al-syahid adalah orang yang mati dikarenakan perang melawan orang-orang kafir, pada waktu terjadinya perang tersebut. Imam Ibnu Qudamah mengatakan dalam al-Mughni :Jika al-syahid menebaskan senjatanya namun berbalik mengenai dirinya sendiri, maka ia seperti orang yang terbunuh oleh tangan musuh. Al-qadhi mengatakan ; ia dimandikan dan dishalatkan karena ia mati tidak karena tangan orang-orang musyrik, seperti kalau ia mati tidak di medan perang. Namun pendapat kami (ia tetap mati syahid meski tidak lewat tangan orang musyrik) berdasar kepada hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud dari seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, ia berkata ; Kami menyerang secara tiba-tiba sebuah kampung bani Juhainah, maka seorang muslim memburu seorang musyrik. Ia menebaskan pedangnya, namun meleset dan mengenai dirinya sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,” Tolong saudara kalian, wahai umat Islam !.” Para shahabat segera berhambur untuk menolong, namun ternyata ia sudah mati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengkafaninya dengan pakaiannya yang berlumuran darah, lalu mensholatinya. Para shahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah ia mati syahid ?”  Beliau menjawab,’ Ya, dan saya menjadi saksi.” Shahabat ‘Amir bin al-akwa’ juga berduel dengan Marhab (panglima Yahudi) dalam perang Khaibar,  ‘Amir menebaskan pedangnya namun berbalik mengenai dirinya sendiri, sehingga ia meningga. Ia tidak dibedakan dari para syuhada’ lainnya, karena ia mati syahid dalam peperangan, sebagaimana bila ia mati lewat tangan orang kafir.

Tangan yang Membunuh Tidak Berpengaruh atas

Penamaan al-Syahid
Dari penjelasan tentang definisi al-syahid ini, jelaslah bahwa menurut jumhur (mayoritas) ulama selain ulama madzhab al-Hanafi, tangan siapa yang membunuh tidak mempunyai pengaruh atas diraihnya sifat mati syahid. Hanya ulama madzhab al-Hanafi semata yang menyatakan orang yang mati syahid hanyalah orang yang mati oleh tangan orang kafir atau didapatkan terbunuh di medan peperangan, sementara yang mati karena tangannya sendiri tidak dianggap mati syahid.
Pendapat mayoritas ulama adalah pendapat yang rajih (lebih kuat dan benar), sementara pendapat ulama madzhab al-Hanafi dibantah oleh hadits yang disebutkan dalam al-shahihain dari Salamah bin al-Akwa’ rhadiyallahu ‘anhu, ia berkata,” Kami keluar (berangkat berperang) bersama Rasulullah ke Khaibar…(beliau lalu menyebutkan haditsnya di mana disebutkan shahabat ‘Amir bin al-Akwa’ mendendangkan syair untuk menyemangati para shahabat dalam perjalanan)…Rasulullah bersabda,” Siapa yang  memimpin (sya’ir itu) ?” Para shahabat menjawab,” ‘Amir bin al-Akwa’.” Rasulullah bersabda,” Semoga Allah memberinya rahmat.” Maka seorang shahabat berkata,” Jika anda telah mendoakan seperti itu kepada kami, pasti akan terlaksana ya Nabiyallah.” Ketika dua pasukan bertemu, pedang ‘Amir yang pendek diayunkannya untuk menebas betis seorang Yahudi, namun malah berbalik kepada tempurung lutut ‘Amir sendiri, sehingga ia meninggal. Ketika sudah diamankan, Salamah —saudara kandung ‘Amir (pen)— berkata,” Rasulullah memandang saya, memegang tangan saya dan bertanya,” Ada apa kok sedih ?” Saya menjawab,” Mereka mengatakan amal ‘Amir telah terhapus.” Beliau bertanya,” Siapa yang  berkata begitu ?” Saya menjawab,” Fulan, fulan, fulan dan Usaid bin Khudhair al-Anshari.” Rasulullah bersabda,” Orang yang berkata begitu telah berbohong. Justru ‘Amir mendapatkan dua pahala.” Beliau menunjukkan dengan kedua jari beliau.”
Imam Abu Daud dalam sunan Abu Daud (no. 2539) dari Abu Salam dari seorang shahabat  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, ia berkata,” Kami mengadakan serangan mendadak kepada sebuah kampung bani Juhainah, maka seorang muslim memburu seorang musyrik, namun senjatanya meleset dan mengenai dirinya sendiri. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,” Saudara kalian, wahai kaum muslimin.” Kaum muslimin segera menolongnya, namun ternyata ia sudah meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengkafaninya dengan pakaian yang berlumuran darah, beliau mensholati dan menguburkannya. Mereka bertanya,”Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, apakah ia mati syahid?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab,” Ya, dan saya menjadi saksi.”
Dari penjelasan ini, jelaslah bahwa tidak disyaratkan seorang mujahid harus mati oleh senjata musuh agar ia bisa disebut mati syahid. Al-syahid adalah orang yang berperang untuk menegakkan kalimat Allah, dan ia terbunuh di medan perang dengan cara apapun (baik karena senjata sendiri maupun senjata musuh).
Syubhat orang-orang yang tidak memperbolehkan al-‘amaliyat al-istisyhadiyah adalah dalam persoalan ini, yaitu alasan bahwa si mujahid membunuh dirinya sendiri. Alasan ini tidak ada dasarnya. Jika ia tidak memperbolehkan al-‘amaliyat al-istisyhadiyah karena syubhat ini, hendaklah ia mengetahui bahwa syubhat ini (tangan yang membunuh bukan tangan orang kafir) tidak mempengaruhi si syahid untuk mendapatkan sifat al-syahadah (mati syahid).
Karena syariat terkadang membedakan hukum antara dua hal yang secara lahiriah nampanya sama, namun berbeda niat dan tujuan, sebagaimana telah saya sebutkan tadi. Tidak ada contoh yang lebih menunjukkan hal ini, melebihi kasus mengharapkan kematian. Hukum mengharapkan kematian bisa berbeda berdasar perbedaan niat orang yang mengharapkan kematian tersebut. Contoh lainnya adalah orang yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga, hukumnya haram jika ia bertujuan untuk menjadi sarana bagi halalnya perempuan itu atas mantan suaminya. Namun hukumnya bisa menjadi sunah dan disyariatkan, jika tujuannya untuk menjaga kehormatan dirinya dari terjatuh dalam perbuatan keji (zina), dengan demikian pernikahannya menjadi pernikahan yang syar’i. Contoh lainnya adalah tidak berobat saat sakit. Jika ia tidak berobat karena didorong oleh rasa tawakal kepada Allah Ta’ala, maka itu terpuji dan dianjurkan. Sebaliknya, bila karena menyepelekan, maka diharamkan dan tercela. Banyak contoh masalah lain yang dikarenakan perbedaan niat, hukumnya pun berbeda. Dasar hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dalam al-shahihaini :
“ Seluruh amal tergantung kepada niat, dan setiap orang akan mendapatkan pahala sesuai apa yang ia niatkan.”
Niat menjadi sebab perbedaan hukum. Perbedaan hukum antara dua masalah yang serupa hanya dikarenakan berbedanya niat, banyak didapati dalam syariat Islam. Satu dari antara sekian banyak masalah tersebut adalah masalah orang yang terbunuh di medan peperangan. Siapa yang mati karena ingin menegakkan kalimat Allah adalah orang yang mati syahid, sementara yang mati karena ingin disebut sebagai seorang pemberani, maka ia berada di jalan setan. Hal ini jelas sekali disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Dari sini jelaslah bagi kita bahwa hukum syariat tentang orang yang mati syahid tidak berubah dan tidak ddipengaruhi oleh tangan siapa yang membunuh si mujahid, alat untuk membunuh maupun cara membunuh, selama niatnya untuk mencari ridha Allah Ta’ala dengan niat ikhlas untuk menegakkan kalimat Allah Ta’ala. Seseorang yang dibunuh oleh musuh sedang niatnya buruk (tidak ikhlas), maka ia di neraka. Seseorang yang dibunuh oleh musuh sedang niatnya ikhlas untuk menegakkan kalimat Allah, maka ia di surga. Seseorang melakukan bunuh diri karena putus asa dan stres, maka ia di neraka. Seseorang melakukan bunuh diri karena tidak sengaja (seperti kasus shahabat ‘Amir bin al-Akwa—pen), maka ia di surga. Seseorang mengharapkan kematian atau berdoa agar segera dimatikan karena tidak sabar dengan musibah duniawi yang menimpanya, maka pengharapan ini diharamkan. Namun seseorang yang mengharapkan kematian atau berdoa agar dimatikan karena mengharap pahala di sisi Allah Ta’ala, maka ia mendapat pahala. Orang yang membantu proses pembunuhan atas dirinya sendiri, atau bahkan melakukan tindakan bunuh diri, namun dengan tujuan menegakkan kalimat Allah dan menjaga nyawa kaum muslimin yang lain, maka ia mendapatkan apa yang ia niatkan, ia tidak dianggap melakukan tindakan bunuh diri. Dalil-dalil dan kajian dalil yang telah saya sebutkan di depan, telah menjawab persoalan melakukan bunuh diri karena takut akan membocorkan rahasia ini.
Karena itu, syaikhul Islam imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa 25/281 mengatakan :
“ Maka seyogyanya seorang mukmin membedakan antara larangan Allah Ta’ala kepada seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri atau menjadi sebab pembunuhan atas dirinya sendiri, dengan perintah Allah Ta’ala kepada orang-orang mukmin untuk menjual nyawa dan harta mereka dengan surga, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

“ Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membeli nyawa dan harta orang-orang beriman dengan surga..” [QS. Al-Taubah :111].

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِى نَفْسَهُ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللهِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah.” [QS. Al-Baqarah :207].
Jadi standar penilaian dalam hal ini adalah apa yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan al-sunah, bukan apa yang dianggap baik oleh seseorang, atau pendapat seseorang yang sebenarnya bertentangan dengan  Al-Qur’an dan al-sunah…”
Alangkah baiknya, apabila orang-orang yang yang mengharamkan dan melarang tindakan bunuh diri karena takut akan membocorkan rahasia, menelaah apa yang telah dikatakan oleh para fuqaha’, semisal imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam al-Mughni 2/551, juga imam al-Kharqi al-Hambali tentang kasus seorang wanita yang meninggal, sementara dalam perutnya ada seorang janin yang hidup. Jika tidak ada bidan perempuan yang mengeluarkan janin tersebut dari perut si wanita yang sudah meninggal ini, kaum laki-laki tetap tidak diperbolehkan mengeluarkan janin, janin tetap dibiarkan begitu saja meski akhirnya mati dan dikuburkan bersama ibunya. Hal ini demi menjaga kehormatan ibu yang sudah mati ini, agar jangan sampai oleh seorang laki-laki asing (bukan mahramnya) menyentuh kemaluannya untuk mengeluarkan si janin yang masih hidup. Artinya, kehidupan si janin dikorbankan demi menjaga kehormatan si ibu yang telah mati.
Wahai orang-orang yang berakal sehat dan berhati nurani, bukankah lebih layak lagi seorang muslim diperbolehkan untuk mengorbankan dirinya sendiri fi sabilillah demi menyelamatkan nyawa ribuan kaum mukminat agar tidak dilanggar kehormatannya oleh tentara najis Yahudi, Nasrani, komunis dan antek-antek murtad mereka dari kaum Nushairi di Syiria, Ba’ts Iraq, sekuleris Tunisa, Libia, Maroko,….dan negara-negara lain. Kami memohon keselamatan kepada Allah Ta’ala atas musibah yang saat ini menimpa kita, umat Islam.


Terakhir…Inti dan kesimpulan pembahasan

1-      Seluruh nash-nash yang mengharamkan seorang muslim melakukan tindakan bunuh diri, atau menghadapkan dirinya kepada tempat-tempat yang membawa kehancuran bagi dirinya, adalah nash-nash yang umum, sedang kasus kita ini adalah kasus khusus yang dikecualikan dari keumuman nash tersebut. Barang siapa yang tidak sependapat, hendaklah ia menyebutkan dalilnya sehingga kami bisa kembali merujuk kepada dalil tersebut.
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya :
“ Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.“ [QS. Al-Nisa’ :65].
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَّقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
Artinya :
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. “ [QS. Al-Nuur :51].
وَمَاكَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ
Artinya :
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.“ [QS. Al-Ahzab :36].
2-      Harus diketahui bahwa menganalogikan orang yang melakukan tindakan bunuh diri dalam al-‘amaliyat al-istisyhadiyah dengan orang yang melakukan tindakan bunuh diri disebabkan oleh stres dan keputus asaan karena tidak sabar dengan musibah duniawi, merupakan sebuah analogi yang tidak benar karena perbedaan sifat yang menjadi landasan hukum (qiyas ma’a al-fariq). Orang yang melakukan tindakan bunuh diri, melakukan hal itu karena didorong oleh keputus asaan, stres dan tidak sabar dengan musibah duniawi yang menimpanya. Ini tentu tidak diridhai oleh Allah Ta’ala. Adapun orang yang melakukan tindakan bunuh diri dalam al-‘amaliyat al-istisyhadiyah, ia melakukan tindakan itu karena didorong oleh niatan menebus keselamatan agama dan saudara-saudara seagama dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Ia menjaga kehormatan saudara-saudara seagama dengan darahnya, sampai dien bisa tegak dan musuh mengalami kerugiaan. Jiwanya tenang, riang dan gembira menyambut perjumpaan dengan Allah Ta’ala dan kenikmatan surga. Jadi, samakah dua kasus ini?
“ Apakah kedua permisalan ini sama ? Segala puji bagi Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
3-      Diperbolehkannya melakukan tindakan bunuh diri karena khawatir akan membocorkan rahasia, adalah disyaratkan oleh beberapa aturan, yaitu :
  • hendaklah niatnya ikhlash untuk mencari ridha Allah, dan ia melakukan tindakan ini karena didorong oleh keinginan untuk menjaga Islam, wilayah Islam dan kaum muslimin, bukan karena tidak sabar dengan beratnya siksaan dan putus asa dengan musibah yang ia alami.
  • Hendaklah rahasia yang ia ketahui bersifat sangat penting, bila terbongkar akan mengakibatkan bahaya besar bagi umat Islam, berupa kekalahan, atau terbunuhnya seorang muslim, atau dinodainya kehormatan seorang muslim, atau diseretnya umat Islam ke dalam penjara sehingga menghadapkan mereka kepada penyiksaan berkepanjangan yang hanya Allah Ta’ala semata yang mengetahui kapan akan berakhir.
  • Si pembawa rahasia benar-benar telah tertangkap oleh musuh, bukan hanya sekedar menduga akan tertangkap. Atau ia dalam kondisi terkepung dan sama sekali tidak bisa meloloskan diri. Jika ia bisa meloloskan diri atau melawan sekalipun konskuensinya ia akan terbunuh atau berhasil kabur, maka ia tidak boleh melakukan tindakan bunuh diri, bahkan ia wajib melawan, mengerahkan segenap kemampuannya untuk kabur atau menggiring mereka untuk membunuh dirinya.
  • Si pembawa rahasia sudah tidak mampu lagi untuk bertahan dalam menghadapi biadabnya penyiksaan para interogator. Jika ia mampu bersabar dan bertahan menghadapi beratnya siksaan, meskipun akhirnya ia mati, ia harus melakukannya dan ia tidak boleh melakukan tindakan bunuh diri. Kecuali jika ia bisa bertahan namun lama kelamaan dengan beratnya penyiksaan ia khawatir akan membocorkan rahasia, maka ia saat itu boleh melakukan bunuh diri, bahkan bunuh diri saat itu bisa menjadi sunah atau wajib, tergantung kepada dampak negatif yang akan timbul bila rahasia yang ia ketahui bocor ke tangan musuh.
Sebagai penutup…saya memohon kepada Allah ta’ala Yang Maha Berkuasa, untuk menjadikan pembahasan ni semata-mata untuk mencari ridha-Nya. Semoga Allah mengampuni segala ketergelinciran dalam kajian ini, saya tidak bermaksud selain mencari kebenaran. Apabial dalam kajian ini ada kebenaran, maka itu dari Allah ta’ala semata. Dan apabila ada kesalahan, maka itu semua dari saya pribadi dan dari setan, Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam berlepas diri darinya.
Penulis :
‘Abdu al-‘Aziz bin Shalih al-Jarbu’
Sabtu, 18 Shafar 1422 H
Al-Hamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin.

Source : http://7ihadmedia.wordpress.com/2010/03/16/hukum-bunuh-diri-demi-rahasia/

[1] – Lihat Hasyiyah al-dasuqi 2/187, al-Mughni 10/447, Mughni al-Muhtaj 4/224 dan Majmu’ Fatawa 28/538. [2] – Fatawa Syaikh Muhammad bin Irahim 6/207-208, cetakan 1, 1399 H, mathabi’ al-Hukumiyah, Kitabu al-Jihad.
[3] – Maksud perkataan “ persetujuan” yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Qasim rahimahullah, ulama yang mengumpulkan fatwa-fatwa syaikh Muhammad bin Ibrahim ini, adalah bahwa fatwa ini termasuk fatwa yang ditulis dari halaqah-halaqah kajian syaikh Muhammad bin Ibrahim antara tahun 1357 H sampai tahun 1381 H, sebagaimana beliau sebutkan dalam mukadimah buku fatwa tersebut.
[4] – Seperti telah saya jelaskan sebelumnya dalam mukadimah, pembahasan ini tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah kajian. Namun setelah adanya fatwa syaikh Muhammad bin Ibrahim ini, pembahasannya bukan sekedar sebuah kajian semata, melainkan telah menjadi sebuah dasar dan dalil-dalil syar’i atas kasus ini dan praktek dalil.

1 komentar:

  1. Dukung dakwah dengan memasang banner millah-ibrahim.com
    Klik sini
    http://millah-ibrahim.com/berita/114-dukung-dakwah-kami

    Visit our website
    http://www.millah-ibrahim.com

    BalasHapus

Leave Your Comment Here....